Menjaga Kebaikan
MENJAGA KEBAIKAN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Allah Azza wa Jalla berfirman.
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا
مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
[Ar-Ra’du/13 : 11]
Dan Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ
أَنْكَاثًا
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang
menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai
kembali” [An-Nahl/16 : 92]
Dan Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ
فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
“Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya
telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas
mereka lalu hati mereka menjadi keras” [Al-Hadid/57 : 16]
Dan Allah Azza wa Jalla berfirman.
فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا
“Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang
semestinya” [Al-Hadid/57 : 27]
Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ
اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
“ Ya Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan, dahulu
ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi” [Muttafaqun Alaihi]
Penjelasan
Berkata Imam Nawawi (semoga Allah merahmati beliau) :
“Bab menjaga kebaikan”. Yaitu bahwasanya seseorang jika terbiasa mengerjakan
kebaikan maka sepatutnya mengekalkannya (menjaganya). Misalnya jika ia sudah
terbiasa tidak meninggalkan hal-hal yang sunnah, yaitu shalat-shalat sunnah
yang mengiringi shalat-shalat wajib, maka hendaknya ia menjaga hal itu, Dan
jika ia terbiasa melaksanakan shalat malam maka hendaknya ia menjaganya. Dan
jika terbiasa shalat dhuha dua rakaat maka hendaknya menjaga hal itu, segala
kebaikan yang ia terbiasa mengerjakannya hendaknya ia jaga.
Dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwasanya amalan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus. Adalah
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengerjakan suatu amalan, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kontinyukan dan tidak merubahnya, yang demikian
itu dikarenakan jika manusia sudah terbiasa berbuat dan mengamalkan kebaikan
lalu meninggalkannya, sesungguhnya hal ini membuatnya membenci kebaikan, karena
mundur sesudah maju adalah lebih jelek daripada tidak maju, maka kalau seandainya
engkau belum mulai melakukan kebaikan, tentulah hal iti lebih ringan daripada
engkau telah melakukannya lalu engkau tinggalkan, dan hal ini adalah sesuatu
yang telah terbukti.
Imam Nawawi (semoga Allah merahmatinya) mengutip dalam
bab ini beberapa ayat Al-Qur’an, yang kesemuanya menunjukkan bahwasanya manusia
sepatutnya menjaga kebiasaan amal baiknya, diantaranya firman Allah Azza wa
Jalla.
وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ
أَنْكَاثًا
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang
menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai
kembali” [An-Nahl/16 : 92]
Maknanya adalah : “Janganlah kalian seperti wanita
pemintal yang memintal kain wol, lalu tatkala ia sudah memintal dan
membaguskannya ia robek-robek dan menguraikannya, (janganlah seperti ini)
tetapi hendaknya kalian tetap dan kontinyu terhadap apa yang telah kalian
lakukan.
Diantaranya firman Allah Azza wa Jalla
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ
فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
“Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya
telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas
mereka lalu hati mereka menjadi keras” [Al-Hadid/57 : 16]
Artinya : Bahwasanya mereka beramal dengan amal shalih
tetapi berlalulah masa yang panjang maka keraslah hati-hati mereka lalu mereka
tinggalkan amal-amal shalih itu, maka janganlah kalian seperti mereka..
Adapun hadits-hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi
(diantaranya: hadits Abdullah bin Amru bin Al-Ash bawasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ
اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
“Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti fulan, dahulu
ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakan lagi”
Kata-kata fulan adalah kata “kinayah” tentang seorang
manusia (seorang lelaki). Sedangkan perempuan dikatakan “fulanah”, dan kata
fulan dalam hadits ini bisa terjadi adalah perkataan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyebutkan namanya kepada Abdullah bin Umar untuk menutupi keadaannya, karena
maksud dari perkara itu tanpa pelakunya, dan mungkin juga Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan nama lelaki itu tetapi disamarkan namanya oleh
Abdullah bin Amru.
Dari dua kemungkinan diatas, inti dan pokoknya adalah
amal. Dan perkaranya adalah seorang lelaki, dahulunya mengerjakan shalat malam,
lalu setelah itu tidak menjaganya (mengekalkannya), padahal mengerjakan shalat
malam hukum pokoknya adalah sunnah, kalaulah manusia tidak melakukannya maka
tidaklah ia dicela, dan tidak dikatakan kepadanya : “Mengapa kamu tidak
mengerjakan shalat malam?”. Karena shalat malam adalah sunnah, akan tetapi
keadaannya yang mana ia mengerjakan shalat malam lalu tidak mengerjakannya,
inilah keadaan yang menyebabkan ia dicela. Oleh karena itu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaa : “Janganlah kamu seperti si fulan, dahulu
ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi”.
Hal yang lain, dan ini merupakan yang terpenting,
hendaknya seseorang memulai untuk menuntut ilmu syar’i, tatkala Allah
membukakan baginya kenikmatan ia tinggalkan amalnya (menuntut ilmu syar’i),
maka sesungguhnya hal ini adalah kufur terhadap nikmat yang Allah berikan
padanya. Maka jika engkau memulai menuntut ilmu teruslah menuntut ilmu kecuali
sesuatu yang sangat darurat menyibukanmu, dan kalau tidak ada penghalang maka
teruslah menuntut ilmu karena menuntut ilmu hukumnya fardu kifayah, setiap
orang yang menuntut ilmu sesungguhnya Allah akan membalas amalnya itu dengan
pahala fardu (wajib).
Dan pahala fardhu adalah lebih besar dari pahala nafilah
(sunnah), sebagaimana tersebut dalam hadits shahih bahwasanya Allah Azza wa
Jalla berfirman.
وَمَا تَقَرَّبَ عَبْدِيْ
بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَـيَّ مِمَّـا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ
“Tiadalah hambaku mendekatkan kepadaku dengan sesuatu
yang lebih aku sukai dari apa yang aku wajibkan kepadanya” [Hadits Riwayat
Bukhari 6502]
Menuntut ilmu adalah fardhu kifayah jika seseorang
menegakkannya maka berarti ia mewakili umat dalam melaksanakannya.
Dan terkadang menuntut ilmu itu hukumnya fardhu ain jika
seorang manusia membutuhkan ilmu itu untuk dirinya, sebagaimana ia berkeinginan
untuk shalat ia harus belajar hal-hal yang berhubungan dengan hukum shalat. Dan
barangsiapa yang mempunyai harta ia harus mempelajari hukum-hukum zakat,
penjual dan pembeli harus memperlajari hukum-hukum jual beli, dan barangsiapa
yang ingin menunaikan haji maka harus mempelajari hukum-hukum haji, ini
hukumnya fardhu ain.
Adapun ilmu-ilmu yang lain, mempelajarinya adalah fardhu
kifayah, jika seseorang memulai menuntut ilmu maka jangalah ia kembali
(mundur), tetapi hendaknya ia terus menuntut ilmu kecuali jika ada suatu hal
penting menghalanginya dari menuntut ilmu, hal ini lain lagi keadaannya. Oleh
karena itu orang-orang munafik adalah mereka yang jika memulai suatu amal,
mereka tinggalkan amal itu.
Dalam perang Uhud sekitar seribu orang keluar untuk
berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepertiganya adalah
orang-orang munafik. Mereka tidak meneruskan perjalanan dan berkata.
قَالُوا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمْ
“Sekiranya kami mengetahui terjadi peperangan tentulah
kami mengikuti kamu” [Ali-Imran/3 :167]
Allah Azza wa Jalla berfirman.
هُمْ لِلْكُفْرِ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْإِيمَانِ
“Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari
keimanan” [Ali-Imran/3 :167]
Sepatutnya bagi seorang muslim jika Allah memberikan
karunia kepadanya dengan sesuatu yang mana ia beribadah kepada Allah dengannya
dengan ibadah yang khusus seperti shalat, atau ibadah-ibadah mutaadiyah (yang
bermanfaat kepada selainnya) seperti menuntut ilmu hendaknya ia tidak mundur
dan tidak terlambat, hendaknya ia terus menerus untuk hal itu, karena
sesungguhnya yang demikian itu adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan dari sebagian petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
sabdanya.
لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ
قِيَامَ اللَّيْلِ
“Janganlah kamu seperti fulan, dahulu ia shalat malam
lalu ia tidak kerjakan lagi”
Dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar