Kemuliaan Ahlaq Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
KEMULIAAN AKHLAQ AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Read more https://almanhaj.or.id/13268-kemuliaan-ahlaq-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html
Kemuliaan Ahlaq Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
KEMULIAAN AKHLAQ AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak manusia
untuk beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja dan memperbaiki akhlak
manusia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
baik.”[1]
Sesungguhnya antara akhlak dengan ‘aqidah terdapat
hubungan yang sangat kuat sekali, karena akhlak yang baik itu sebagai bukti
dari keimanan dan akhlak yang buruk sebagai bukti atas lemahnya iman, semakin
sempurna akhlak seorang muslim berarti semakin kuat imannya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً وَخِيَارُكُمْ
خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.
“Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhlaknya di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian
adalah yang paling baik kepada isteri-isterinya”[2]
Akhlak yang mulia adalah bagian dari amal shalih yang
dapat menambah keimanan dan memiliki bobot yang berat dalam timbangan,
pemiliknya sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
akhlak yang baik adalah salah satu penyebab seseorang untuk dapat masuk Surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ.
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan
seorang mukmin di hari Kiamat melainkan akhlak yang baik, dan sesungguhnya
Allah sangat membenci orang yang suka berbicara kotor”[3]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula:
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّيْ مَجْلِسًا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقاً.
“Sesungguhnya di antara yang paling aku cintai di antara
kalian dan yang paling dekat majelisnya dariku di hari Kiamat adalah yang
paling baik akhlaknya di antara kalian”[4]
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النّاَسَ الْجَنَّةَ؟ فَقَالَ: تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ،
وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ فَقَالَ: الْفَمُ وَالْفَرْجُ.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang
kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Surga, maka beliau menjawab, “Takwa
kepada Allah dan akhlak yang baik.” Dan ketika ditanya tentang kebanyakan yang
menyebabkan manusia masuk Neraka, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Mulut dan kemaluan”[5]
Ahlus Sunnah juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada
kedua orang tua, menganjurkan untuk bersilaturahmi, serta berbuat baik kepada
tetangga, anak yatim, fakir miskin, dan Ibnu Sabil[6]. Mereka (Ahlus Sunnah)
melarang dari berbuat sombong, angkuh, dan zhalim[7]. Mereka memerintahkan
untuk berakhlak yang mulia dan melarang dari akhlak yang hina.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ كَرِيْمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ وَمَعَالِيَ اْلأَخْلاَقِ
وَيُبْغِضُ سِفْسَافَهَا.
“Sesungguhnya Allah Maha Pemurah menyukai kedermawaan dan
akhlak yang mulia serta membenci akhlak yang rendah/hina”[8]
Sungguh akhlak yang mulia itu meninggikan derajat
seseorang di sisi Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ
الْقَائِمِ.
“Sesungguhnya seseorang itu dengan sebab akhlaknya yang
baik, sungguh akan mencapai derajat orang yang shaum (puasa) di siang hari dan
shalat di tengah malam”[9]
Akhlak yang mulia dapat menambah umur dan menjadikan
rumah menjadi makmur, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
حُسْنُ الْخُلُقِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ
وَيَزِيْدَانِ فِي اْلأَعْمَارِ.
“Akhlak yang baik dan bertetangga yang baik keduanya
menjadikan rumah makmur dan menambah umur”[10]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang
yang paling baik akhlaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah sebutkan dalam
firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti
yang agung.”[Al-Qalam/68:4]
Hal ini sesuai dengan penuturan ‘Aisyah Radhiyallahu
ahuma:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ
النَّاسِ خُلُقاً.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang
yang paling baik akhlaknya”[11]
Begitu pula para Shahabat Radhiyallahu anhum, mereka
adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya setelah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Di antara akhlak Salafush Shalih Radhiyallahu anhum,
yaitu:
Ikhlas dalam
ilmu dan amal serta takut dari riya’.
Jujur dalam
segala hal dan menjauhkan diri dari sifat dusta.
Bersungguh-sungguh dalam menunaikan amanah dan tidak khianat.
Menjunjung
tinggi hak-hak Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berusaha
meninggalkan segala bentuk kemunafikan.
Lembut hatinya,
banyak mengingat mati dan akhirat serta takut terhadap akhir kehidupan yang
jelek (su’ul khatimah).
Banyak
berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dan tidak berbicara yang sia-sia,
tersenyum kepada sesama muslim.
Tawadhu’
(rendah hati) dan tidak sombong.
Banyak
bertaubat, beristighfar (mohon ampun) kepada Allah baik siang maupun malam.
Bersungguh-sungguh dalam bertakwa dan tidak mengaku-ngaku sebagai orang
yang bertakwa, serta senantiasa takut kepada Allah.
Sibuk dengan
aib diri sendiri dan tidak sibuk dengan aib orang lain serta selalu menutupi
aib orang lain.
Senantiasa
menjaga lisan mereka, tidak suka ghibah (tidak menggunjing sesama muslim).
Pemalu[12] ,
malu ini adalah akhlak Islam sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam :
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقاً وَخُلُقُ اْلإِسَلاَمِ الْحَيَاءُ.
“Sesungguhnya setiap agama mempunyai akhlak dan akhlak
Islam adalah malu.”[13]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan melainkan semata-mata
kebaikan.”[14]
Banyak memaafkan
dan sabar kepada orang yang menyakitinya. [Al-A’raaf/7:199]
Banyak
bershadaqah, dermawan, menolong orang-orang yang susah, tidak bakhil/tidak
pelit.
Mendamaikan
orang yang mempunyai sengketa. Mendamaikan perselisihan adalah kebajikan yang
terbaik dan puncak kebajikan.
Tidak hasad
(dengki, iri), tidak berburuk sangka sesama mukmin.
Berani
mengatakan kebenaran dan menyukainya.[15]
Itulah di antara akhlak Salafush Shalih, mereka adalah
orang yang mempunyai akhlak yang tinggi dan mulia serta dipuji oleh Allah dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang mengikuti jejak
mereka adalah orang-orang yang harus mempunyai akhlak yang mulia karena akhlak
mempunyai hubungan yang erat dengan ‘aqidah dan manhaj. Dan tidak boleh seseorang
mengatakan, “Salaf itu tidak berakhlak.” Kalimat ini merupakan celaan terhadap
generasi yang ter-baik dari umat ini. Adapun kesalahan dari akhlak tiap
individu maka hal itu tidak ma’shum.
Sebagai akhir dari pembahasan ini, penulis bawakan firman
Allah Ta’ala:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
[Al-A’raaf/7:199]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, setelah menuturkan
banyak pendapat ulama Salaf, dia berkata: “Sebagian ulama Salaf berkata bahwa
manusia ada dua macam: manusia yang baik dan manusia yang jahat. Dari manusia
yang baik, terimalah kebaikannya dan jangan memaksa di luar kemampuannya dan
jangan mempersulitnya. Adapun manusia yang jahat, maka perintahkanlah untuk
berbuat baik, jika dia tetap berbuat sesat dan kebodohan, maka berpalinglah
darinya. Semoga yang demikian itu akan menolak kejahatannya. Sebagaimana firman
Allah Azza wa Jalla:
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ ۚ نَحْنُ أَعْلَمُ
بِمَا يَصِفُونَ وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَعُوذُ
بِكَ رَبِّ أَن يَحْضُرُونِ
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik.
Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah. Ya Rabb-ku aku
berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung
(pula) kepada Engkau ya Rabb-ku, dari kedatangan mereka kepadaku.”
[Al-Mu’-minuun/23:96-98]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu
dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan me-lainkan kepada orang-orang
yang mempunyai keberun-tungan yang besar.” [Fushshilat/41:34-35]
Juga firman-Nya:
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ
بِاللَّهِ ۖ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan,
maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Fushshilat/41:36]
Dalam ayat-ayat di atas, Allah memberikan petunjuk untuk
mempergauli orang-orang yang berbuat maksiyat dengan sesuatu yang lebih baik.
Yang demikian akan mampu menghentikannya dari perbuatan maksiyatnya, dengan
izin Allah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: ‘Dengan demikian) orang
yang memusuhimu bisa berubah menjadi teman sejati.’ [Fushshilat/41:34]
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarkan kepada
kita untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari syaitan. Hal itu diperintahkan
karena syaitan tidak bisa dicegah dengan kebaikan. Dia (syaitan) akan selalu
mengharapkan kehan-curan bagi Anda. Dialah musuh sejati bagi Anda dan musuh
bapak Anda (yaitu Adam Alaihissallam).”[16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ
تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.
“Bertakwalah engkau kepada Allah di mana saja engkau
berada, iringilah perbuatan yang jelek (kesalahan) dengan kebaikan, niscaya
kebaikan tersebut akan menghapus kesalahan dan bergaullah dengan manusia dengan
akhlak yang mulia”[17]
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Psutaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhary dalam al-Adabul Mufrad (no. 273
(Shahih al-Adabul Mufrad no. 207)), Ahmad (II/381) dan al-Hakim (II/613), dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albany (Silsilah
al-Ahaadits ash-Shahihah no. 45).
[2] HR. At-Tirmidzi (no. 1162), Ibnu Hibban
(at-Ta’liqatul Hisan ‘ala Shahih Ibni Hibban no. 4164 dan Mawaariduzh Zham’aan
no. 1311) dan Ahmad (II/250, 472). Lafazh awalnya diriwayatkan oleh Abu Dawud
(no. 4682), al-Hakim (I/3), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”
[3] HR. At-Tirmidzi (no. 2002), Abu Dawud (no. 4799),
Ahmad (VI/446, 448) dari Shahabat Abu Darda’ Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi
berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Lafazh ini milik at-Tirmidzi.
[4] HR. At-Tirmidzi (no. 2018), ia berkata, “Hadits
hasan.” Dari Shahabat Jabir Radhiyallahu anhu. Hadits ini ada beberapa
syawahid, lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 791).
[5] HR. At-Tirmidzi (no. 2004), al-Bukhari dalam Adabul
Mufrad (no. 289), Shahih Adabul Mufrad (no. 222), Ibnu Majah (no. 4246), Ahmad
(II/291, 392, 442), Ibnu Hibban dalam at-Ta’liiqaatul Hisaan ‘alaa Shahiih Ibni
Hibban (no. 476), al-Hakim (IV/324). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini shahih
gharib.” Dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[6] Lihat QS. An-Nisaa’/4:36.
[7] Lihat QS. An-Nisaa’/4:172,173; al-A’raaf/7:13,36,40;
al-Anfaal/8:47; dan lainnya
[8] HR. Al-Hakim (I/48), dari Shahabat Sahl bin Sa’ad.
Lihat Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah (no. 1378).
[9] HR. Abu Dawud (no. 4798), al-Hakim (I/60) dari
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[10] HR. Ahmad (VI/159), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[11] HR. Al-Bukhari no. 6203, Muslim no. 2150, 2310
(54-55) dari Shahabat Anas bin Malik
[12] Malu adalah akhlak yang mulia, yang tumbuh untuk
meninggalkan perkara-perkara yang jelek sehingga menghalangi dia dari perbuatan
dosa dan maksiyat, serta mencegah dia dari melalaikan kewajiban memenuhi hak
orang-orang yang mempunyai hak. Lihat al-Haya’ fii Dhau-il Qur-aan al-Kariim wa
Ahaadits ash-Shahiihah oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet. 1408 H.
Maktabah Ibnul Jauzy.
[13] HR. Ibnu Majah (no. 4181), Shahih Ibni Majah
(II/406, no. 3370) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Shaghir (I/13-14, cet. Darul
Fikr). Hadits ini hasan, lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (no. 940),
dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
[14] HR. Al-Bukhari (no. 6117) dan Muslim (no. 37 (60)),
dari Shahabat ‘Imran bin Husain
[15] Diringkas dan disadur dari Makarimul Akhlaq fi
Dhau-il Qur-aanil Kariim was Sunnatish Shahiihah al-Muthahharah, oleh Syaikh
Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. II/ Daar Ibnul Qayyim, th. 1412 H, al-Wajiiz fii
‘Aqiidatis Salafish Shalih (hal. 200-206), oleh ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid
al-Atsary, cet. II/ Darur Rayah, th. 1422 H dan Min Akhlaqis Salaf, jam’u wat
tartib: Ahmad Farid, cet. Darul ‘Aqidah lit Turaats, th. 1412 H.
[16] Lihat Tafsiir Ibnu Katsir (II/309), cet. Darus
Salam.
[17] HR. Ahmad (V/153, 158, 177, 236), at-Tirmidzi (no.
1987), ad-Darimi (II/323), al-Hakim (I/54), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir
(XX/295, 296, 297) dari Shahabat Abu Dzarr dan Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu
anhuma. Hadits ini hasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar