Metode Bijak Memperbaiki Aib
METODE BIJAK MERPERBAIKI AIB
Oleh
Syaikh Abdul Bâri ats-Tsubaiti hafizhahullâh
Ada suatu kalimat yang sangat berharga, yaitu “semoga
Allâh merahmati orang yang menunjukkan kepadaku kesalahanku”.
Ungkapan agung yang memiliki banyak makna mulia ini
diucapkan oleh Umar bin Abdul Aziz. Sebuah ungkapan yang mudah diucap namun
sulit untuk dipraktikkan kecuali oleh mereka yang memiliki jiwa besar, kokoh,
hati yang suci, dan tawadhu`, yang mampu dan siap menerima serta menyadari aib
yang ada pada dirinya, menghadapinya dengan tegar, dan kemudian fokus pada
usaha untuk selalu memperbaikinya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا
إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. [Fushshilat/41:35].
Tidak ada seorang pun di dunia yang luput dari aib. Namun
terkadang, kita tidak jujur terhadap diri kita. Kita tidak siap mental menerima
aib kita, sering terkesan membela-bela diri dan tidak mau menerima aib kita
yang terungkap. Seandainya energi yang kita pergunakan untuk membela diri itu
kita alihkan untuk melaksanakan ketaatan, maka perlahan namun pasti, aib-aib
kita itu akan terlihat oleh kita. Kita akan bisa mengetahui aib yang kita
miliki; apalagi jika kita memiliki teman yang baik, yang selalu mengingatkan
kita kepada dzikrullah dan mengingatkan kita terhadap aib kita tanpa bermaksud
mencela ataupun menyiarkannya dikhalayak ramai.
Seorang ulama salaf menyatakan, “Saudaramu yang selalu
mengingatkanmu kepada Allâh, memberitahukan aib-aibmu itu lebih baik bagimu
daripada yang menaruh beberapa uang dinar di tanganmu.”
Terbongkarnya aib seseorang, baik lewat pemberitahuan
seorang teman yang baik kepadanya ataupun melalui proses evaluasi diri bisa
jadi merupakan tanda kebaikan yang Allah Azza wa Jalla inginkan pada diri orang
tersebut. Karena orang yang mengetahui dan menyadari aibnya, akan bisa
melakukan perbaikan-perbaikan di masa-masa yang akan datang. Semakin banyak aib
yang terlihat, semakin besar usaha yang dilakukannya. Oleh karena itu, mestinya
kita berterima kasih kepada orang yang mengingatkan kita terhadap aib kita.
Karena dengan itu, kita jadi tersadar dan akhirnya berkesempatan memperbaiki
diri. Namun sekarang sering terbalik, mestinya kita berterima kasih, malah kita
marahi dan kita benci dengan alasan-alasan.
Kaum Muslimin rahimakumullâh ! Dalam islam, ada adab-adab
yang harus diperhatikan saat hendak menyampaikan aib ke orangnya. Yaitu
hendaklah dilakukan dengan cara bijaksana, menjunjung tinggi adab kesantunan,
cara yang baik, kalimat yang indah, menenangkan, dan bisa melapangkan dada,
dengan lemah-lembut tanpa kekerasan, nasihat secara diam-diam, sindiran dan
bukan dengan cara terang-terangan. Demikian ini akan lebih mudah diterima;
karena adab dalam menyampaikan, ungkapan cinta dan pujian memiliki pengaruh
yang sangat kuat.
Demikiani juga orang yang menerima pemberitahuan tentang
aib dirinya, hendaknya lebih mendahulukan prasangka baik dalam responnya,
sehingga dia lebih mudah berlapang dada dengannya.
Dalam syariat terdapat aturan dalam menyikapi aib diri
kita juga aib orang lain yaitu hendaknya kita menutupinya, sebagaimana Allâh
Azza wa Jalla menutupi aib kita tersebut juga aib orang lain. Karena Allâh Maha
Penutup dan mencintai orang yang menutupi aib.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَلِيمٌ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ
الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah,
kekal, dan Maha Penutup, Dia mencintai rasa malu dan sikap sitru
(menyembunyikan aib). [Riwayat Abu Dawud dan Nasâ-i].
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: كُلُّ أُمَّتِي مُعَافَاةً إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ،
وَإِنَّ مِنَ الْإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ فِي اللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ،
وَقَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا،
وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيَبِيتُ فِي سِتْرِ رَبِّهِ وَيُصْبِحُ
يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku
mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap ummatku
diampuni kecuali mujâhir (orang yang membuka aib sendri), dan termasuk
perbuatan membuka aib, seperti seorang hamba yang melakukan sebuah perbuatan
pada malam hari kemudian keesokan harinya ia berkata, ‘Wahai, fulan ! Tadi
malam aku telah melakukan ini dan itu,’ padahal malam harinya Allâh menutupi
perbuatannya, akan tetapi keesokan harinya ia membuka penutup yang Allâh telah
berikan”. [HR. Muslim]
Jika seorang hamba tergelincir dalam perbuatan maksiat,
lalu ia bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla lalu Allâh Azza wa Jalla menutupi
aibnya tersebut di dunia, maka dia juga harus menutupi aibnya tersebut.
Barangsiapa menutupi aibnya, maka ia akan selamat dari celaan manusia dan
terhindar dari murka Allâh Azza wa Jalla.
Diceritakan, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada
Rasûlullâh dan berkata, “Ya, Rasûlullâh. Aku pernah mengobati seorang perempuan
di ujung Madinah lalu aku tidak sekedar menyentuhnya (maksudnya menzinainya),
maka ini aku datang kepadamu. Berilah aku hukuman yang engkau kehendari !”
kemudian Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Seandainya engkau menutupi dirimu,
sungguh Allâh Azza wa Jalla telah menutupinya,” dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam diam tidak menjawab, kemudian laki-laki itu berdiri dan pergi. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan seseorang untuk menyusul dan
memanggil laki-laki tadi, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membacakan padanya firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ
ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ
Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan
petang) dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan
yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah
peringatan bagi orang-orang yang ingat” [Hûd/11:114]
Salah seorang shahabat bertanya, “Ya, Rasûlullâh, apakah
ayat itu khusus untuk orang itu saja?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “(tidak) akan tetapi untuk semua manusia”. [HR Muslim].
Larangan menyebarkan aib akan membantu pelaku aib itu sendiri
untuk bertaubat. Karena, jika aib itu disebarkan, maka bisa jadi perbuatan itu
akan merusak dan bisa jadi akan membuat pelakunya semakin nekad dan berani
berbuat dosa. Sebaliknya, menutupi aib bisa menjadi terapi dengan tetap menjaga
harga diri dan kesucian, juga bisa semakian menguatkan ikatan cinta dan kasih
sayang serta membangun sebuah pondasi yang agung, yaitu husnuzhan di antara
orang-orang Mukmin.
Fudhail bin Iyâdh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
Mukmin itu akan senantiasa menutupi dan menasihati; sedangkan orang munafik dan
pendosa senantiasa akan membuka aib serta mencela.”
Sungguh sangat beda antara orang yang menunjukkan aib
sebagai nasehat yang dilandasi kecintaan dengan orang sibuk dan senang
mencari-cari kesalahan orang lain, siang dan malam. Ini adalah penyakit
tercela, manakala seseorang melepaskan lisannya kemudian memata-matai manusia.
Dia akan semakin lemah badannya, usianya terus bertambah, hatinya semakin
sakit, waktunya tersia-sia, sementara dia tidak menyadari aibnya sendiri.
Iyadzan billah
Mestinya kita berhati-hati dan selalu menjaga diri kita.
Salah seorang salaf berkata, “Saya terkadang melihat sesuatu (yakni aib orang
lain) yang tidak aku sukai, namun aku tidak berani mengucapkannya karena aku
takut tertimpa dengan semisalnya.” Yang lain berkata, “Kami telah diberitahu
bahwa orang yang paling banyak kesalahannya adalah yang paling sering menyebut
kesalahan manusia.”
Diriwayatkan dari Abi Barzah al-Aslami Radhiyallahu anhu,
ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَامَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ، وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيْمَانُ
قَلْبَهُ ، لاَ تغتَابُوا المسلمين، وَلاَتَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ
اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ
يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
Hai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun
imannya tidak sampai ke hatinya ! Janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin !
Jangan pula kalian mencari-cari kesalahan mereka. Sesungguhnya, orang yang
mencari-cari aib Muslimin, maka Allâh akan mencari kesalahannya. Barangsiapa
yang Allâh cari kesalahannya, maka Allâh akan membuka keburukannya di dalam
rumahnya.” [HR. Abu Dawud
Hendaklah hadits ini menjadi renungan bagi kita. Sehingga
kita akan semakin bijak dalam menyikapi aib kita dan orang lain, karena tidak
seorang pun yang bersih dari aib. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa
membimbing kita dan semua kaum Muslimin dalam memperbaiki aib masing-masing
kita.
(Diangkat dari khutbah Syaikh Abdul Bâri ats-Tsubaiti
hafizhahullâh yang disampaikan di Masjid an-Nabawi pada tanggal 15 Shafar 1434
dengan judul al-Manhaj ar-Rasyîd fi Ishlâhil Uyûb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar