Esensi Malu Dalam Kehidupan
ESENSI MALU DALAM KEHIDUPAN
Marilah kita senantiasa istiqamah dalam menjaga ketakwaan
kita kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan hendaklah kita benar-benar merasa malu
kepada Allâh Azza wa Jalla . Hendaknya kita senantiasa menyadari bahwa ada
malaikat yang diutus Allâh Azza wa Jalla untuk mencatat semua amal kita.
Malaikat itu senantiasa mendengar dan melihat apapun yang kita lakukan meski
sangat rahasia dan tersembunyi. Janganlah sekali-kali kita berbuat kemaksiatan
dengan anggapan tiada yang tahu sama sekali. Karena malaikat yang diutus oleh
Allâh Azza wa Jalla untuk mengawasi selalu tahu dan terus mencatat segala
perbuatan kita.
Sifat malu termasuk diantara sifat terpuji yang sudah
ditinggalkan oleh banyak orang. Padahal sifat ini bisa mendatangkan banyak
kebaikan bagi orang yang bersifat dengannya serta membentenginya agar tidak
terjerumus dalam perilaku buruk. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
Sesungguhnya rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan
[HR. Bukhari]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan
bahwa malu merupakan bagian dan cabang dari keimanan. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ
الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Iman memiliki tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih.
Yang tertinggi adalah ucapan LÂ ILÂHA ILLALLÂH dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu itu salah satu cabang dari
keimanan. [HR. Muslim]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertemu
dengan seseorang yang sedang mengingatkan atau mencela saudaranya yang pemalu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Biarkan dia, karena sesungguhnya malu itu adalah sebagian
dari iman. [HR. Bukhari]
Beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa malu bukan
suatu yang buruk, bahkan sebaliknya termasuk sifat terpuji.
Simak juga apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah,
”Kata al-Hayâ’ berasal dari (satu kata dasar dengan) al-hayat (kehidupan). Oleh
karena itu hujan juga disebut al-hayâ (pembawa kehidupan). Kadar rasa malu
seseorang sangat tergantung dengan kadar hidupnya hati. Sedikitnya rasa malu
merupakan indikasi hati dan ruhnya telah mati. Semakin hidup hati seseorang,
maka rasa malunya akan semakin sempurna.”
Rasa malu itu ada dua yaitu malu kepada Allâh dan malu
kepada manusia.
Malu kepada Allah Azza wa Jalla maksudnya merasa malu
dilihat Allâh Azza wa Jalla saat melakukan perbuatan maksiat. Sebagaimana
dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالُوا : إِنَّا
نَسْتَحِي يَا رَسُولَ اللَّهِ , قَالَ لَيْسَ ذَلِكَ وَلَكِنْ مَنْ اسْتَحَى مِنَ
اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا حَوَى وَلْيَحْفَظِ الْبَطْنَ
وَمَا وَعَى وَلْيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ
الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَقَّ
الْحَيَاءِ
Hendaklah kalian benar-benar merasa malu kepada Allâh
Azza wa Jalla .” Para sahabat menjawab, “Kami sudah merasa malu, wahai
Rasûlullâh.” Rasûlullâh bersabda, “Bukan itu maksudnya, akan tetapi barang
siapa yang benar-benar merasa malu kepada Allâh Azza wa Jalla maka dia harus
menjaga kepala beserta isinya, menjaga perut beserta isinya dan dia terus
mengingat kematian. Orang yang menginginkan akherat, dia pasti akan
meninggalkan keindahan dunia. Barangsiapa melakukan ini berarti dia benar-benar
merasa malu kepada Allâh.[HSR Ahmad dan Tirmidzi]
Dalam hadits di atas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan dengan gamblang sifat orang yang tertanam rasa malu kepada
Allâh Azza wa Jalla dalam lubuk hatinya. Yaitu dia terus berusaha menjaga
seluruh anggota tubuhnya agar tidak berbuat dosa dan maksiat, senantiasa ingat
kematian, tidak punya keinginan yang muluk-muluk terhadap dunia dan tidak
terlena dengan nafsu syahwat.
Orang yang merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla , dia
akan menjauhi semua larangan Allah Azza wa Jalla dalam segala kondisi, baik
saat sendiri maupun di tengah keramaian. Rasa malu seperti masuk dalam kategori
ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Sebuah rasa yang merupakan buah dari
ma’rifatullâh ( mengenal Allâh Azza wa Jalla). Rasa malu yang muncul karena
menyadari keagungan dan kedekatan Allâh Azza wa Jalla . Rasa malu yang timbul
karena tahu Allâh Azza wa Jalla itu Maha Mengetahui terhadap semua perbuatan,
yang nampak maupun yang tersembunyi dalam hati. Rasa malu seperti inilah yang
masuk dalam bagian iman tertinggi bahkan menempati derajat ihsân tertinggi.
Tentang ihsân, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya,
“Ihsân adalah engkau beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seakan-akan engkau
melihat-Nya, seandainya engkau tidak melihat-Nya maka Allâh Azza wa Jalla pasti
melihatmu.”
Di samping rasa malu kepada Allâh Azza wa Jalla , kita
juga harus memiliki sifat malu kepada manusia. Rasa malu ini akan mencegah kita
dari perbuatan yang tidak layak dan tercela. Rasa malu membuat kita tidak suka
jika aib dan keburukan kita diketahui orang lain. Oleh karena itu, orang yang
memiliki rasa malu tidak akan menyeret dirinya untuk menjadi tukang cela,
penyebar fitnah, tukang gunjing dan berbagai perbuatan maksiat lainnya yang
nampak.
Singkat kata, rasa malu kepada Allâh Azza wa Jalla akan
mencegah seseorang dari kerusakan batin, sedangkan rasa malu kepada manusia
akan mencegahnya dari kerusakan lahiriah. Dengan demikian, dia akan menjadi
orang yang baik secara lahir dan batin dan akan tetap baik ketika sendiri
maupun di tengah khalayak ramai. Malu seperti inilah yang merupakan bagian dari
iman.
Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki rasa malu
? Orang yang tidak memiliki rasa malu, berarti dia tidak memiliki benteng dalam
hatinya yang bisa mencegahnya dari perbuatan dosa dan maksiat. Dia akan berbuat
semaunya, seakan-akan tidak ada iman yang tersisa dalam hatinya. Na’ûdzu
billâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا
لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Sesungguhnya diantara perkataan kenabian pertama yang
diketahui manusia ialah “Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu [HR.
Bukhâri]
Artinya, orang yang tidak memiliki rasa malu sedikitpun,
dia pasti akan berbuat semaunya, tanpa peduli maksiat atau bukan. Karena rasa
malu yang bisa mencegah seseorang dari perbuatan maksiat tidak dimiliki.
Akibatnya, dia akan terus hanyut dan larut dalam perbuatan maksiat dan mungkar.
Setelah mengetahui urgensi rasa malu dan manfaatnya bagi
seorang hamba, cobalah sekarang kita memperhatikan kondisi manusia saat ini.
Sungguh sangat menyedihkan keadaan sebagian orang saat ini. Mereka telah
mencampakkan rasa malu sampai seakan tidak tersisa sedikitpun dalam diri
mereka, sehingga akibatnya berbagai kemungkaran menjamur di mana-mana; aurat
yang semestinya ditutup malah dipertontonkan; perbuatan amoral dilakukan
terang-terangan; rasa cemburu pada pasangan sirna. Tindakan asusila nan hina
dianggap baik dan dibanggakan. Ketika ini dipermasalahkan, banyak orang sontak
membelanya. Sungguh ironis, tapi inilah realita.
Di antara indikasi pudarnya rasa malu dan menipisnya rasa
cemburu pada hati sebagian laki-laki adalah mempekerjakan wanita bukan mahramnya
atau wanita kafir sebagai pembantu, sehingga khalwat ditengah keluarganya tidak
terhindarkan. Ada juga sebagian orang yang mempekerjakan laki-laki bukan
mahramnya sebagai supir untuk keluarganya. Mereka relakan keluarga mereka
berduaan dengan orang lain di rumah, di kendaraan, di tempat wisata dan lain
sebagainya. Akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Kemanakah rasa cemburu dan
rasa malu mereka ?
Termasuk tanda hilangnya rasa malu dari sebagian wanita
pada zaman ini yaitu mereka membuka hijab dan jilbab mereka. Aurat yang
seharusnya mereka tutupi, justru mereka pertontonkan kepada khalayak ramai.
Mereka keluar rumah dengan dandanan menor, pakaian minim, berbagai hiasan dan
aksesoris yang menarik perhatian menempel di tubuh mereka serta tak ketinggalan
aroma semerbak yang bisa menggait lawan jenisnya. Sorot mata jalang yang
seharusnya membuatnya risih dan malu, justru semakian menimbulkan rasa bangga.
Na’udzu billah
Kemanakah rasa malu yang merupakan bagian dari iman
seseorang ?
Diantara fakta yang juga menyedihkan yang mengisyaratkan
menipisnya rasa malu atau bahkan hilang sama sekali dari sebagian kaum Muslimin
yaitu kegemeran mereka terhadap lagu-lagu atau film-film yang jauh dari
norma-norma Islam. Untuk lagu, bukan hanya perdengarkan di rumah-rumah mereka
bahkan tanpa rasa malu sama sekali, sebagian mereka meminta para penyiar untuk
memutar beberapa jenis lagu untuk dipersembahkan kepada sanak kerabat atau
teman yang sedang berada jauh dari mereka.
Bahkan ada yang membeli kaset-kaset film porno yang
kemudian diputar di rumahnya, di hadapan anak dan istrinya, padahal di dalamnya
ada tayangan yang sangat tidak pantas dilihat. Tayang yang menjijikkan perasaan
orang yang memiliki iman; tayangan yang tidak memberikan nilai pendidikan sama
sekali kecuali pendidikan syaithaniyah untuk membangkitkan nafsu syahwat dan
selanjutnya melampiaskankannya pada hal-hal yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla
. Kemanakah rasa malu mereka ? Apakah mereka tidak percaya lagi kepada
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
Sesungguhnya rasa malu itu hanya akan mendatangkan
kebaikan [HR. Bukhari]
Dimanakah rasa malu dari seseorang yang membiarkan
anak-anak mereka berkeliaran semaunya, bergaul dengan sembarang orang, melakukan
aktifitas tanpa bimbingan dan membiarkan mereka diperbudak hawa nafsu. Yang
baik dipandang buruk dan yang buruk terlihat indah dan menyenangkan karena
tertipu dengan nafsu syahwat.
Dimanakah rasa malu dari para pegawai yang tidak
bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas yang diamanahkan kepada mereka ?
Dimanakah rasa malu dari para pedagang yang melakukan penipuan dan tindakan
curang, dusta dalam perdagangannya ?
Sungguh, semua prilaku buruk ini akibat dari hilangnya
rasa malu dari diri seseorang. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu [HR.
Bukhâri]
Hendaklah kita semua senantiasa bertakwa kepada Allâh
Azza wa Jalla dan hendaklah kita senantiasa memupuk keyakinan bahwa Allâh Azza
wa Jalla selalu mengetahui apapun yang kita lakukan di semua tempat dan waktu.
Allah berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ
وَأَجْرٌ كَبِيرٌ ﴿١٢﴾ وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ ۖ إِنَّهُ عَلِيمٌ
بِذَاتِ الصُّدُورِ ﴿١٣﴾ أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya yang
tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.
Dan rahasiakanlah perkataanmu atau tampakkanlah; sesungguhnya Dia Maha
mengetahui segala isi hati. Apakah Allâh yang menciptakan itu tidak mengetahui
(yang kamu tampakkan atau rahasiakan); dan Dia Maha halus lagi Maha Mengetahui
? [al-Mulk/67:12-14]
Rasa malu yang terpuji adalah rasa malu yang bisa
mencegah seseorang dari perbuatan buruk dan rasa malu yang bisa mendorong
seseorang untuk melakukan berbagai kebaikan. Sedangkan rasa malu yang
menghalangi seseorang dari perbuatan yang bermanfaat bagi dunia dan agamanya
maka itu merupakan jenis rasa malu yang tercela. Sebagai seorang yang beriman,
seorang mukmin tidak merasa malu untuk mengucapkan kalimat yang benar dan
beramar ma’ruf nahi mungkar; tidak merasa malu untuk bertanya tentang sesuatu
yang tidak diketahui dalam urusan agamanya.
Rasa malu yang terpuji merupakan anugerah Allah,
sementara rasa malu yang tercela adalah tipuan setan. Oleh karena itu,
hendaklah kita senantiasa bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla dalam semua
akitifitas kita.
(Diangkat dari al-Khutab al-Mimbariyah, 4/99-104)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar