Rajah Kalacakra, Ilmu Warisan Leluhur yang Berfungsi Sebagai Tameng Kebal Hingga Pelet
Tak hanya kaya alam, Jawa juga kaya budaya dan masih
berpegang teguh pada ajaran-ajaran yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Tak heran jika sampai saat ini masih banyak orang yang menganut kepercayaan
tertentu seperti kejawen, penghayat kepercayaan, atau ajian-ajian yang memiliki
fungsi tertentu.
Jika kamu pernah mendengar nama Rajah Kalacakra, maka itu
adalah satu dari banyak ajian yang dipercaya bisa mengabulkan segala hajat
pemintanya. Untuk Sahabat semua yang belum mengetahui, Rajah Kalacakra adalah
sebuah kalimat yang digoreskan pada media seperti kain, kertas, batu ataupun
badan. Menggoreskannya bisa menggunakan tinta, minyak bahkan darah. Rajah ini
cukup terkenal di pulau Jawa
Jika kita terjemahkan ke dalam konsep orang terdahulu,
Kala/kolo artinya adalah sial atau jahat. Sedangkan Cakra adalah senjata dari
Batara Kresna yang dipakai untuk memusnahkan kala/kejahatan. Sehingga Rajah
Kalacakra adalah mantra yang dipakai untuk memusnahkan kejahatan/keapesan.
Rajah biasanya ditulis dalam bahasa arab. Namun, meskipun
begitu tak berarti ia bermakna selalu baik, karena rajah bisa saja bermuatan
energi negative, tergantung dari maksud orang yang membuat rajah tersebut.
Melansir suaramerdeka.com, rajah ini akan memiliki efek yang maksimal jika
dituliskan pada daun dan kulit binatang, khususnya kulit kijang. Namun awas,
rajah ini kurang baik jika ditulis pada sebuah benda berbahan logam serta batu.
Selanjutnya apa sih fungsi sebenarnya dari Rajah
Kalacakra? Melansir dari Kisah Tanah Jawa, Rajah esensinya adalah sebuah bentuk
doa atau permohonan agar tercapai apa yang menjadi kehendak si pengguna rajah.
Misal ingin kebal senjata, disegani orang lain bahkan dicintai lawan jenis (ia
bisa berfungsi sebagai pelet).
Selain itu, Rajah Kalacakra juga bisa digunakan sebagai
pagar gaib dan banyak digunakan prajurit Jawa semasa perang zaman dahulu kala.
Seperti kisah perselisihan antara Haryo Panangsang dan Sultan Hadiwijaya.
Ketika itu, Sunan Kudus adalah orang yang berada di pihak Haryo Panangsang.
Karena ingin membela, sang sunan menyiapkan kursi yang sudah dipasang rajah
agar terduduki oleh Sultan Hadiwijaya, sehingga kekuatannya bisa menghilang.
Sayang, karena kesalahan, yang duduk di atas kursi
tersebut malah Haryo Panangsang. Sehingga kesalahan itu menjadi musabab ia
disebut kalah ketika perang melawan Pajang, Haryo pun terbunuh.
Pemilik Rajah Kalacakra bisa dilihat dari kehidupannya
yang nyaman, tenang, dan tenteram. Bonus, bagi orang yang bisa melihat dan
paham dengan sesuatu yang sifatnya harus memakai indera ke enam, rajah ini
berwujud berupa sinar yang berputar dan terletak pada dada pemiliknya. Mereka
yang memiliki ilmu ini juga sudah melalui tirakat panjang, berupa puasa selama
40 hari berturut-turut atau ada juga yang bilang cukup dengan berpuasa mutih
selama tujuh hari, dimulai dari Selasa Kliwon.
Selain dalam tulisan, tim Kisah Tanah Jawa menyebutkan
bahwa Candi Borobudur adalah wujud drai Rajah Kalacakra dalam skala yang sangat
besar (karena Borobudur sendiri memiliki makna roda raksasa simbol waktu serta
melambangkan 8 penjuru arah mata angin). Harapannya, keberadaannya dapat
membuat Pulau Jawa aman dan terhindar dari segala macam bentuk angkara murka
yang bisa menghancurkan peradaban dan memecah belah penduduk yang berada di
Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar