Orang Jahiliyyah Saja Malu Berdusta
ORANG JAHILIYAH SAJA MALU BERDUSTA
Perintah Allâh Untuk Jujur
Secara khusus pun, Allâh Azza wa Jalla telah
memerintahkan kita semua, kaum Mukminin untuk berlaku dan bertutur jujur.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا
مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh,
dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar [At-Taubah/9:119].
Perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Untuk Jujur
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرّ
وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ. وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى
الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا
Hendaklah kalian jujur. Karena kejujuran akan
mengantarkan kepada kebajikan. Dan kebajikan akan mengantarkan menuju Surga.
Tidaklah seseorang senantiasa jujur dan berusaha kuat untuk jujur kecuali akan
ditulis di sisi Allâh sebagai orang yang shiddiiq.[1]
Dalam hadits mulia ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan bahwa kejujuran itu akan mengantarkan kepada tujuan luhur
dan orang shiddîq akan mendapatkan kedudukan. Adapun tujuan luhur dari
kejujuran adalah kebajikan dan kebaikan, dan kemudian dilanjutkan menuju Surga.
Sedangkan kedudukan orang yang jujur adalah shiddîqîyyah, sebuah kedudukan di
bawah kedudukan nubuwwah (kenabian).
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ
أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ
ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
Dan barang siapa yang menaati Allâh dan Rasul(-Nya),
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh
Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang yang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
[An-Nisâ/4:69]
Seorang Mukmin Tidak Pantas Berdusta
Seorang Mukmin tidak sepantasnya melakukan dusta dalam
ucapannya. Hal ini dikarenakan dusta merupakan sifat yang melekat pada diri
orang-orang munafiqin.
Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang mereka:
وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ
Dan Allâh mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang
munafiq itu benar-benar orang pendusta.[Al-Munâfiqûn/63:1]
Orang Mukmin tidak berdusta karena ia mengimani ayat-ayat
Allâh dan beriman kepada Rasul-Nya. Ia mempercayai bahwa Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ
يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ وَلَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ
حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
Sesungguhnya dusta itu akan menyeret kepada al-fujûr. Dan
sesungguhnya tindak kejahatan itu akan menyeret menuju Neraka. Dan tidaklah
seseorang itu sering berdusta dan sengaja untuk berdusta hingga akan ditulis di
sisi Allâh sebagai pendusta.[2]
Betapa buruk akhir dari kedustaan. Betapa rendah martabat
seorang yang berdusta. Kedustaan akan mengakibatkan melakukan fujûr (tindakan
jahat), yaitu menyimpang dari jalan yang lurus, dan lalu terjerumus ke dalam
Neraka. Orang yang berdusta itu orang rendah, sebab ia ditulisi di sisi Allâh
sebagai pendusta. Itulah seburuk-buruk julukan bagi seseorang.
Seseorang di muka bumi ini akan gerah bila disebut-sebut
sebagai pendusta di tengah masyarakatnya, bagaimana perasaannya bila di tulis
di sisi Rabbnya sebagai pendusta?. Seorang pendusta dalam hidupnya, tidak akan
dipercayai lagi saat mengabarkan sesuatu atau berbisnis dengan orang lain.
Citra buruk pun akan tetap melekat padanya setelah meninggal.
Allâh Azza wa Jalla telah memadukan antara dusta dengan
penyembahan terhadap berhala-berhala. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ
الزُّورِ
Maka, jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan
jauhilah perkataan-perkataan dusta.[Al-Hajj/22:30]
Apakah setelah ini, masih pantaskah ada seorang Mukmin
yang menjadikan dusta sebagai kebiasaan dalam akhlaknya dan jalan dalam
kehidupannya?!.
Orang Jahiliyah Menghindari Dusta
Dahulu, orang-orang kafir dalam masa jahiliyah menjauhi
dusta dan tidak menjadikannya sebagai karakter hidup mereka atau sebagai jalan
meraih apa yang mereka inginkan. Lihatlah Abu Sufyân sebelum ia memeluk Islam,
saat ia bersama rombongan dagang berada di Syam. Tatkala Heraklius mendengar
keberadaan mereka di sana, ia pun mengutus seseorang agar mendatangkan Abu
Sufyân ke hadapannya untuk ditanya tentang Muhammad bin ‘Abdillâh, orang yang
mengaku sebagai nabi. Saat itu, Abu Sufyân mengatakan, “Seandainya bukan karena
malu, kalau orang-orang tahu aku berdusta, maka aku pastilah akan bicara bohong
(tentang Muhammad)”[3]
Mari kita perhatikan, seseorang dalam kekufuran dan
jahiliyahnya, enggan ketahuan berdusta walaupun sekali saja, padahal ia
memandang kedustaannya tentang Muhammad bin Abdillah akan mendatangkan maslahat
bagi dirinya.
Maka, sangat memprihatinkan bila ada sebagian orang dari
umat ini, sering melakukan dusta. Ini sebenarnya menjadi indikator keburukan.
Bila seseorang sudah melakukannya sekali dua kali, maka akan mudah baginya
untuk mengulang-ulangnya kembali, sehingga akhirnya menjadi kepribadian dan
karakter baginya.
Kesalahan dan keburukan dusta akan lebih parah bila
diiringi dengan mengambil hak orang lain, membela orang yang salah atau
digunakan untuk mencoreng citra orang yang baik-baik.
Berdusta Untuk Membuat Orang Tertawa
Bentuk dusta lainnya yang terkadang tidak disadari
sebagai bentuk kebohongan, seseorang mengada-adakan cerita lucu atau anekdot
untuk membuat orang lain tertawa.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memperingatkan orang seperti ini dalam sabdanya:
وَيْلٌ لِلَّذِيْ يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ.
وَيْلٌ لَهُ ثُمَّ وَيْلٌ لَهُ
Celaka, bagi orang yang berbicara lalu berdusta untuk
membuat orang-orang tertawa. Celaka baginya, celaka baginya. [4]
Dusta Orang Tua Kepada Anak
Sebagian orang tua tergelincir dalam dusta di hadapan
anak-anaknya, lantaran sekedar ingin menenangkan sang buah hati. Mereka
janjikan ini itu kepada anak-anak, padahal tidak ada niat sekalipun untuk
merealisasikannya. Sikap demikian ini, jelas sudah menjerumuskan orang tua ke
dalam dusta dan meremehkannya. Maka, jangan salahkan siapa-siapa, bila anak
secara tidak langsung telah dididik untuk berdusta.
Mari kita simak riwayat dari ‘Abdullâh bin ‘Amir yang pernah dipanggil sang ibu. Sang ibu
mengatakan, “Kesinilah, aku beri engkau (sesuatu)”. Kemudian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah yang akan engkau berikan kepadanya?”. Ia
menjawab, “Kurma”.
Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا لَكُتِبَتْ عَلَيْكِ
كَذِبَةً
Jika engkau tidak akan memberinya sesuatu, maka akan
tertulis satu kedustaan atas dirimu (HR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi )
Penutup
Jujur adalah akhlak mulia, yang akan memuliakan pemilik
sifat itu mulia di sisi Allah dan dipercaya
oleh sesama manusia. Dan seorang Muslim melakukannya karena mengamalkan
perintah Allah dan perintah Rasul-Nya, dan mendorong anak-anak dan anggota
keluarganya untuk selalu komitmen dengan akhlak mulia ini. Wallâhu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar