Berdakwah Dengan Akhlak Mulia
BERDAKWAH DENGAN AKHLAK MULIA
Oleh
Ustadz Abu Abdir Rahman Abdullah Zaen, MA.
SEBUAH RENUNGAN DARI SEPENGGAL KISAH NYATA
Seorang preman mendapatkan hidayah mengenal manhaj Salaf.
Dulu, ia dibenci masyarakat karena suka mengganggu, gemar mabuk, berjudi,
mengganggu orang lain dan seabrek perilaku negatif lain yang merugikan
masyarakat. Namun tidak ada seorang pun yang berani menegurnya, karena takut
mendapatkan bogem mentah darinya.
Setelah mengenal dakwah Ahlu Sunnah ini, ia berubah
menjadi orang yang baik (shalih) dan alim, hanya saja masyarakat tetap tidak
menyenanginya, tetap membencinya, padahal ia sudah meninggalkan keburukanya
dulu. Kalau dulu masyarakat tidak berani menegurnya, sekarang malah berani
memarahi, bahkan menyidangnya pula. Apa pasalnya?
Ternyata kebencian tersebut dipicu dari sikap kaku dan
keras orang tersebut, juga kekurangpiawaiannya dalam membawa diri di
masyarakat.Dulu dibenci karena ‘kepremanannya’, sekarang dibenci karena
‘keshalihan’nya…
Haruskah orang yang mengikuti manhaj Salaf menghadapi
kebencian dari masyarakat? Apakah itu merupakan sebuah resiko yang tidak
terelakkan? Adakah kiat khusus untuk menghindari hal tersebut atau paling tidak
meminimalisirnya?
Benar, seseorang yang teguh memegang kebenaran, ia akan
menghadapi tantangan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Ulama
Salaf saja sudah terlebih dulu menghadapi tantangan. Para pengusung kebenaran,
apalagi di akhir zaman ini, akan tetap dihadang oleh tantangan dimana kejahatan
lebih mendominasi dunia dibandingkan kebaikan.
Namun, yang perlu menjadi catatan di sini, apakah
kebencian yang muncul di banyak masyarakat kepada para pengikut manhaj Salaf,
murni diakibatkan keteguhan mereka dalam berpegang teguh terhadap prinsip, atau
disebabkan factor lain, seperti tidak bisa membawa diri dengan baik di tengah
masyarakat, kurang cakap dalam dalam menjelaskan prinsip dan kurang pandai dalam
menetralisir pandangan miring masyarakat terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah
(dakwah Salaf) dengan penerapan akhlak mulia? Atau mungkin juga karena enggan
melakukan sesuatu yang dikira terlarang, padahal sebenarnya boleh atau justru
disyariatkan?
Berdasarkan pengamatan terbatas penulis, juga kisah-kisah
nyata yang masuk, nampaknya faktor terakhir lebih dominant dalam melahirkan
antipati masyarakat.
Dalam makalah sederhana ini, dengan memohon taufik dari
Allâh semata, penulis berusaha memaparkan peran besar akhlak mulia dalam
meredam kebencian masyarakat terhadap pengusung kebenaran, bahkan dalam menarik
mereka untuk mengikuti kebenaran tersebut.
PERINTAH UNTUK BERAKHLAK MULIA
Sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, tentunya Islam tidak melewatkan pembahasan akhlak dalam
ajarannya. Begitu banyak dalil dalam al-Qur’ân maupun Sunnah yang memerintahkan
kita untuk berakhlak mulia. Di antaranya:
Firman Allâh Azza wa Jalla tatkala memuji Nabi-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berbudi
pekerti yang luhur [al-Qalam/ : 4]
Juga sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Pergaulilah manusia dengan akhlak mulia [HR. at-Tirmidzi
no. 1987 dari Abu Dzar, dan beliau menilai hadits ini hasan shahih]
APA ITU AKHLAK MULIA?
Banyak definisi yang disampaikan Ulama. Definisi yang
cukup mewakili adalah:
بَذْلُ النَّدَى وَكَفُّ الْأَذَى وَاحْتِمَالُ الْأَذَى
Akhlak mulia adalah berbuat baik kepada orang lain,
menghindari sesuatu yang menyakitinya dan menahan diri ketika disakiti[1]
Dari definisi di atas kita bisa membagi akhlak mulia
menjadi tiga macam:
1. Melakukan kebaikan kepada orang lain. Contohnya: berkata
jujur, membantu orang lain, bermuka manis dan lain sebagainya.
2. Menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain.
Contohnya: tidak mencela, tidak berkhianat, tidak berdusta dan yang semisal.
3. Menahan diri tatkala disakiti. Contohnya: tidak
membalas keburukan dengan keburukan serupa.
APA MAKSUD DAKWAH DENGAN AKHLAK?
Sebagian kalangan masih menganggap dakwah hanya berbentuk
penyampaian materi secara lisan. Padahal sebenarnya dakwah meliputi aspek
lainnya juga; semisal praktek nyata, memberi contoh amalan, dan akhlak mulia,
atau yang lazim dikenal dengan dakwah bil hâl. Bahkan justru yang terakhir
inilah yang lebih berat dibanding dakwah dengan lisan dan lebih mengena
sasaran.[2]
Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori
dengan lancar, namun hanya sedikit yang menjalankan ucapannya dalam praktek
nyata. Di sinilah terlihat urgensi adanya qudwah hasanah (potret keteladanan
yang baik) di tengah masyarakat, yang tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori
kebaikan dalam amaliah nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu hanya
terlukis dalam lembaran-lembaran kertas. [3]
Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya mempraktekkan
akhlak mulia sebagai sarana untuk mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.
AKHLAK MULIA DAN DAMPAK POSITIFNYA DALAM DAKWAH
Di atas telah dijelaskan bahwa definisi akhlak mulia
ialah berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya
serta menahan diri ketika disakiti. Berdasarkan definisi ini berarti cakupan
akhlak mulia sangatlah luas, dan tidak mungkin dipaparkan satu persatu dalam
makalah singkat ini. Karena itulah penulis hanya akan membawakan beberapa
contoh saja. Semoga yang sedikit ini bisa mendatangkan berkah dan para pembaca
dapat menganalogikannya kepada contoh-contoh yang lain.
1. Gemar Membantu Orang Lain.
Banyak nash dalam al-Qur’ân maupun Sunnah yang memotivasi
kita untuk mempraktekkan karakter mulia ini. Di antaranya, sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ؛ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ
أَخِيهِ
Allâh akan membantu seorang hamba jika ia membantu
saudaranya [HR. Muslim no. 6793dari Abu Hurairah]
Sifat gemar membantu orang lain akan membuahkan dampak
positif yang luar biasa bagi keberhasilan dakwah pemilik karakter tersebut.
Menarik untuk kita cermati ungkapan Ummul Mukminin Khadîjah Radhiyallahu anhuma
tatkala beliau menghibur suaminya; Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang ketakutan dan merasa khawatir tatkala wahyu turun pertama kali pada
beliau. Khadîjah Radhiyallahu anhuma berkata:
كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا؛ إِنَّكَ لَتَصِلُ
الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ
عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
Demi Allâh tidak mungkin! Allâh tidak akan pernah
menghinakanmu. Sebab engkau selalu bersilaturrahmi, meringankan beban orang
lain, memberi orang lain sesuatu yang tidak mereka dapatkan kecuali pada
dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau membantu orang lain dalam musibah-musibah
[HR. al-Bukhâri no. 3 dan Muslim no. 401]
Maksud perkataan Khadîjah Radhiyallahu anhuma di atas,
sesungguhnya engkau Muhammad, tidak akan ditimpa sesuatu yang tidak kau sukai,
karena Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan dalam dirimu berbagai akhlak mulia
dan karakter utama. Lalu Khadîjah Radhiyallahu anhuma menyebutkan berbagai
contohnya,[4] di antaranya gemar membantu orang lain.
Karakter ini sangat membantu keberhasilan dakwah. Tatkala
seseorang dalam keadaan sangat membutuhkan bantuan, kemudian ada orang yang
membantunya, jelas susah baginya melupakan kebaikan orang tersebut. Dia akan
terus mengingat jasa baik itu, sehingga manakala kita menyampaikan sesuatu
padanya, minimal dia akan lebih terbuka untuk mendengar ucapan kita, bahkan
sangat mungkin dia akan menerima masukan dan nasehat kita. Sebagai salah satu
bentuk ‘berbalas budi’ atas kebaikan yang kita sodorkan kepadanya.
Karena itu, seyogyanya kita berusaha menerapkan akhlak
mulia ini dalam kehidupan sehari-hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal
dunia, kitalah yang pertama kali memberikan sumbangan belasungkawa kepada
keluarganya. Manakala ada yang dioperasi karena sakit; kita turut membantu
secara materi semampunya. Saat ada yang membutuhkan bantuan keuangan, kita
berusaha memberikan hutangan pada orang tersebut. Begitu seterusnya.
Jika hal ini rajin diterapkan, lambat laun akan terbangun
jembatan yang mengantarkan kita untuk masuk ke dalam hati orang-orang yang
pernah kita bantu, sehingga dakwah salafiyah yang kita sampaikan lebih mudah
untuk mereka terima.
2. Jujur Dalam Bertutur Kata
Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat
dianjurkan dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla berfiman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا
قَوْلاً سَدِيداً
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada
Allâh dan ucapkanlah perkataan yang benar [al-Ahzâb/33:70]
Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari
membuahkan kepercayaan masyarakat terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya
dalam perkara duniawi, namun juga dalam perkara agama.
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bercerita, bahwa tatkala
turun firman Allâh Azza wa Jalla ,
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
Berilah peringatan (wahai Muhammad) kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat. [asy-Syu’ara/26:214]
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam keluar dari
rumahnya lalu menaiki bukit Shafa dan berteriak memanggil, “Wahai kaumku
kemarilah!”. Orang-orang Quraisy berkata, “Siapakah yang memanggil itu?”.
“Muhammad”, jawab mereka. Mereka pun berduyun-duyun menuju bukit Shafa.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai
bani Fulan, bani Fulan, bani Fulan, bani Abdi Manaf dan bani Abdil Mutthalib.
Andaikan aku kabarkan bahwa dari kaki bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah
kalian mempercayaiku?”.
Mereka menjawab, “Kami tidak pernah mendapatkanmu
berdusta!”.
“Sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan datangnya azab
yang sangat pedih!” , lanjut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [HR.
al-Bukhâri no. 4971 dan Muslim no. 507 dengan redaksi Muslim]
Lihatlah bagaimana kejujuran Rasûlullâh dalam bertutur
kata menjadi dalil dan bukti akan kebenaran risalah yang disampaikannya.[5]
Seorang Muslim yang telah dikenal di masyarakatnya jujur
dalam bertutur kata, berhati-hati dalam berbicara dan menyampaikan berita, akan
disegani. Ucapannya akan didengar. Dan ini modal yang amat berharga untuk
berdakwah. Didengarkannya apa yang kita sampaikan itu sudah merupakan suatu
langkah awal yang menyiratkan keberhasilan dakwah. Andaikan dari awal saja,
masyarakat sudah enggan mendengar apa yang kita sampaikan, karena kita telah
dikenal, misalnya mudah menyebarkan isu yang belum jelas kebenarannya, tentu
jalan dakwah berikutnya akan semakin terjal.
3. Bertindak Ramah Terhadap Orang Miskin Dan Kaum Lemah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ؛ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ
بِضُعَفَائِكُمْ
Tolonglah aku untuk mencari (dan membantu) orang-orang
lemah. Sesungguhnya kalian dikaruniai rezeki dan meraih kemenangan lantaran
adanya orang-orang miskin di antara kalian”. [HR. Abu Dâwud no. 2594, dan
sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh an-Nawawi] [6]
Masih banyak hadits lain, juga ayat al-Qur’an yang
memerintahkan kita untuk berbuat baik, berlaku ramah dan membantu orang-orang
lemah juga miskin. Bahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
ditegur langsung Allâh Azza wa Jalla tatkala suatu hari beliau bermuka masam
dan berpaling dari seorang lemah yang datang kepada beliau; karena saat itu
beliau sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Kejadian itu Allâh Azza
wa Jalla abadikan dalam surat ‘Abasa. Setelah itu, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam amat memuliakan orang lemah tadi dan bahkan menunjuknya
sebagai salah satu muadzin di kota Madinah. Dialah ‘Abdullâh Ibn Ummi Maktûm
Radhiyallahu anhu .
Bersikap ramah dan perhatian terhadap orang-orang lemah
menguntungkan dakwah dari dua arah; sisi orang-orang lemah tersebut, juga sisi
masyarakat yang menyaksikan sikap mulia yang kita praktekkan tersebut.
Adapun sisi pertama, keuntungannya: orang-orang lemah
tersebut akan mudah untuk didakwahi dan diajak kepada kebenaran; apalagi pada
umumnya mereka memang lebih mudah untuk didakwahi. Perlu dicatat di sini, apa
yang disebutkan para ahli sejarah tentang salah satu isi dialog antara Abu
Sufyan dan kaisar Romawi; Heraklius. Tatkala Abu Sufyan ditanya tentang
siapakah pengikut Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dia menjawab,
“Orang-orang lemah dan kaum miskin”. Heraklius pun menimpali, “Begitulah
kondisi pengikut para nabi di setiap masa”.[7]
Ketika menafsirkan Surat asy-Syu’ârâ ayat ke-111, Imam
Abu Hayyân rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang lemah lebih banyak untuk
menerima dakwah dibanding orang-orang yang terpandang. Sebab, otak mereka tidak
dipenuhi dengan keindahan-keindahan duniawi, sehingga mereka lebih mudah
mengetahui al-haq dan menerimanya dibanding orang-orang terpandang.[8]
Sedangkan keuntungan kedua, dipandang dari sisi
ketertarikan orang-orang yang menyaksikan praktek akhlak mulia tersebut,
termasuk orang-orang yang memiliki status sosial tinggi. Masyarakat cenderung
lebih respek kepada ulama atau da’i yang rendah hati serta akrab dengan
orang-orang miskin dan lemah dibandingkan kepada penceramah yang hanya berada
dalam lingkaran kehidupan orang-orang kaya dan pemilik kekuasaan. Sebab
masyarakat menganggap da’i tersebut cenderung lebih tulus. Adapun penceramah
(Ulama) yang hanya beramah-tamah dengan para pejabat dan konglomerat;
masyarakat akan bertanya-tanya tentang motif kedekatan tersebut? Apakah karena
mengharapkan harta duniawi atau apa?
Keterangan ini sama sekali bukan untuk mengecilkan
urgensi mendakwahi orang-orang yang memiliki kedudukan[9] , namun penulis hanya
ingin mengajak para pembaca untuk membayangkan alangkah indahnya andaikan para
da’i dan Ulama menyeimbangkan antara kedekatannya dengan orang-orang terpandang
dan kedekatannya dengan orang-orang lemah yang kekurangan, dengan satu tujuan
lurus, mengajak mereka semua ke jalan Allâh Azza wa Jalla .
Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah
masuk Islamnya ‘Adi bin Hâtim ath-Thâ’I, seorang raja terpandang di negeri
Arab. Ketika mendengar munculnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
pengikutnya dari hari kehari semakin bertambah, membuncahlah dalam hatinya
kebencian dan rasa cemburu atas kemunculan raja pesaing baru, hingga datanglah
suatu hari dimana Allâh Azza wa Jalla membuka hatinya untuk mendatangi Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Begitu mendengar kedatangan ‘Adi, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang berada di masjid dengan para Sahabatnya
segera bergegas menyambut kedatangannya dan menggandeng tangannya mengajak
berkunjung ke rumah beliau. Di tengah perjalanan menuju rumah, ada seorang
wanita lemah yang telah lanjut usia memanggil-manggil beliau. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berhenti dan meninggalkan ‘Adi guna
mendatangi wanita tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup lama
berdiri melayani kebutuhan si wanita. Melihat tawadhu’ Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam , ‘Adi bergumam dalam hatinya, “Demi Allâh, ini bukanlah tipe
seorang raja!”.
Setelah selesai urusannya dengan wanita tua tersebut,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggamit tangan ‘Adi melanjutkan
perjalanan. Sesampai di rumah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bergegas mengambil satu-satunya bantal duduk yang terbalut kulit dan berisikan
sabut pohon kurma, lalu mempersilahkan ‘Adi untuk duduk di atasnya. ‘Adi pun
menjawab, “Tidak, duduklah engkau di atasnya”. “Tidak! Engkaulah yang duduk di
atasnya” sahut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Akhirnya, ‘Adi duduk
di atas bantal tersebut dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas
tanah. Saat itu, ‘Adi kembali bergumam dalam hatinya, “Demi Allâh, ini bukanlah
karakter seorang raja!”.
Lantas terjadi diskusi antara keduanya, hingga akhirnya
‘Adi pun mengucapkan dua kalimat syahadat; menyatakan keislamannya. [10]
Lihatlah bagaimana ‘Adi begitu terkesan dengan kerendahan
hati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan sabar melayani
kepentingan seorang wanita tua dan lemah di tengah-tengah perjalanannya
mendampingi seorang raja besar! Goresan kesan baik yang mengendap dalam hatinya
terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , merupakan titik awal ketertarikan
sang raja untuk memeluk Islam.
Penulis tutup pembahasan ini dengan sebuah kisah nyata
tentang salah seorang da’i muda Ahlus Sunnah di sebuah kota di tanah air.
Dengan usianya yang masih sangat hijau, dalam waktu singkat, sebagai pemain
baru di kotanya, berkat taufik dari Allâh Azza wa Jalla , dia telah berhasil
mengambil hati banyak masyarakat di kota tersebut. Bahkan pernah pada suatu
momen, ia diundang untuk mengisi suatu acara kemasyarakatan di sebuah komunitas
yang sebenarnya di situ banyak tokoh-tokoh agama senior. Tatkala berusaha
menghindar dengan alasan banyak kyai di situ, orang yang mengundang menjawab,
“Kalau yang mengisi pengajian kyai A, sebagian masyarakat tidak mau datang, dan
kalau yang diundang kyai B, yang mau datang juga hanya sebagian. Tapi kalau
yang mengisi panjenengan, mereka semua mau datang!”. Ketika penulis cermati,
ternyata salah satu rahasia kecintaan masyarakat terhadap da’i tersebut yaitu keramahannya
kepada siapapun, apalagi terhadap orang-orang ‘kecil’. Dia menyapa tukang
parkir, tukang sapu, orang tidak punya, bersalaman dengan mereka dan tidak
segan-segan untuk bertanya tentang keadaan keluarga mereka dan anak-anaknya!
4. Santun Dalam Menyampaikan Nasehat, Sambil
Memperhatikan Kondisi Psikologis Orang Yang Dinasehati.
Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
Ucapan yang baik adalah sedekah [HR. al-Bukhâri no. 2989
dan Muslim no. 2332]
Memilih kata-kata yang baik dan memperhatikan psikologis
seseorang sangat menentukan keberhasilan dakwah. Penulis pernah mendapatkan
cerita dari saksi mata obrolan antara seorang ikhwan yang sudah ngaji dengan
seorang awam yang sebelumnya tidak pernah saling bertemu. Orang awam tadi
membuka obrolannya dengan kekagumannya akan perkembangan pembangunan fisik kota
tempat mereka berdua tinggal yang begitu cepat dan maju. Namun ikhwan tadi
langsung menangkis, “Ya, itukan cuma lahiriahnya saja. Tapi kalau kita lihat
jiwa-jiwa penduduknya, ternyata kosong dan rapuh!”. Begitu mendengar balasan
lawan bicaranya, muka orang awam tadi langsung berubah dan terdiam.
Kita bukan sedang meragukan niat baik ikhwan tadi, namun
tidakkah ada kata-kata yang lebih santun? Haruskah kita ‘menabrak’ langsung
lawan bicara kita. Bukankah itu akan mengakibatkan dakwah kita sulit untuk
diterima? Bukankah akan lebih enak didengar dan diterima jika ikuti alur
pembicaraannya, lalu secara perlahan kita arahkan kepada poin yang kita
sampaikan?
Misalnya kita katakan pada orang awam tersebut, “Betul
Pak, pembangunan fisik kota kita ini memang amat membanggakan, dan ini amat
bermanfaat untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat. Namun alangkah indahnya jika
pembangunan fisik tersebut diiringi pula dengan pembangunan mental masyarakat,
sehingga timbullah keseimbangan antara dua sisi tersebut”.
Kita bisa mengambil suri teladan dari metode Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menasehati para Sahabat.
Abu Umamah Radhiyallahu anhu bercerita, “Suatu hari ada
seorang pemuda yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
berkata, “Wahai Rasûlullâh, izinkan aku berzina!”. Orang-orang pun bergegas
mendatanginya dan menghardiknya, mereka berkata, “Diam kamu, diam!”. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mendekatlah”. Pemuda tadi mendekati
beliau dan duduk.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”.
“Tidak demi Allâh, wahai Rasul” sahut pemuda tersebut.
“Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka
dizinai”.
“Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”.
“Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka
dizinai”.
“Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?”.
“Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan
mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika bibi (dari jalur bapakmu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika bibi (dari jalur ibumu) dizinai?”.
“Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka
dizinai”.
Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan
tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allâh, ampunilah
kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya”.
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi
tertarik untuk berbuat zina”. [HR. Ahmad XXXVI/545 no. 22211 dan sanad
shahîh].[11]
Cermatilah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak langsung menyalahkan pemuda tadi. Namun, dengan sabar beliau
mengajak pemuda tadi untuk berpikir sambil memperhatikan kondisi psikologisnya.
Mungkin, sebagian kalangan yang kurang paham menilai bahwa metode tersebut
terlalu panjang dan bertele-tele. Namun lihatlah apa hasilnya? Jalan dakwah
memang panjang dan membutuhkan kesabaran.
Tidak ada salahnya, kita kembali memutar rekaman
perjalanan hidup kita dahulu sebelum mengenal dakwah Salaf dan proses
perkenalan kita dengan manhaj yang penuh dengan berkah ini. Apakah dulu
serta-merta sekali diomongi, kita langsung meninggalkan keyakinan yang telah
berpuluh tahun kita pegangi? Atau melalui proses panjang yang penuh dengan
lika-liku?
Dengan merenungi masa lalu kelam sebelum mendapat
hidayah, dan bahwasanya kita memperolehnya secara bertahap, kita akan terdorong
untuk mendakwahi orang lain juga dengan hikmah, nasehat yang bijak, serta
secara bertahap. Demikian keterangan yang disampaikan Syaikh ‘Abdur Rahmân
as-Sa’di rahimahullah ketika beliau menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :
كَذَلِكَ كُنتُم مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللّهُ عَلَيْكُمْ
Begitu pulalah keadaan kalian dahulu, lalu Allâh
melimpahkan nikmat-Nya pada kalian. [an-Nisâ/4: 94] [12]
Tidaklah mudah, mengajak seseorang meninggalkan ideologi
lamanya untuk menganut sebuah keyakinan baru. Maka, langkah awal yang ditempuh,
buatlah ia ragu akan ideologi lamanya, lalu secara bertahap kita jelaskan
keunggulan (keistimewaan, kebenaran) ideologi baru yang akan kita tawarkan
padanya. Dengan berjalannya waktu, dengan izin Allâh Azza wa Jalla , sedikit
demi sedikit ideologi lama akan ditinggalkannya, kemudian beralih ke ideologi
yang baru.
5. Bersifat Pemaaf Terhadap Orang Yang Menyakiti Dan
Membalas Keburukan Dengan Kebaikan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan,
serta jangan pedulikan orang-orang jahil [al-A’râf/7:199]
Potret praktek akhlak mulia ini dalam kehidupan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam amatlah banyak, baik dengan sesama
Muslim, maupun dengan para musuh beliau dari kalangan orang-orang kafir dan
kaum musyrikin.
Di antara contoh jenis pertama, kejadian yang dikisahkan
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu :
كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَذَبَهُ
جَذْبَةً شَدِيدَةً حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ
ثُمَّ قَالَ: “مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ!” فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ
فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ
Suatu hari aku berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan saat itu beliau mengenakan pakaian (kain) buatan Najran yang
tepinya kasar. Tiba-tiba datanglah seorang Arab badui dari belakang dan menarik
keras kain beliau, hingga aku melihat di pundaknya tergaris merah bekas
kasarnya tarikan orang itu, sembari berkata, “Berilah aku sebagian dari harta
yang Allâh berikan padamu!”. Beliau pun menengok kepadanya sembari tersenyum
lalu memerintahkan agar ia diberi sebagian harta”. [HR. al-Bukhâri no. 3149 dan
Muslim no. 2426]
Contoh jenis kedua antara lain, kejadian yang dikisahkan
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
Suatu hari aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , “Wahai Rasûlullâh, apakah engkau pernah melewati suatu hari yang
lebih berat dibandingkan hari peperangan Uhud?”.
Beliau menjawab, “Aku telah menghadapi berbagai cobaan
dari kaummu, dan cobaan yang paling kurasa berat adalah kejadian di hari
Aqabah. Saat itu, aku menawarkan dakwah kepada Ibn Abd Yâlil bin Abd Kulal,
namun ia enggan menerimaku. Aku pun pergi dalam keadaan amat sedih dan tidak
tersadar melainkan tatkala sampai di Qarn ats-Tsa’âlib. Aku pun mendongakkan
kepala, ternyata di atasku ada awan yang menaungiku. Kulihat di sana ada
malaikat Jibril, ia memanggilku, “Sesungguhnya Allâh telah mendengar ucapan
kaummu dan bantahan mereka padamu. Allâh telah mengirimkan untukmu malaikat
gunung, supaya engkau memerintahkannya melakukan apa saja kepada mereka sesuai
kehendakmu”. Malaikat gunung pun memanggilku dan mengucapkan salam lalu
berkata, “Wahai Muhammad, jika engkau mau, akan kutimpakan dua gunung atas
mereka!”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Justru aku
berharap, semoga Allâh berkenan menjadikan keturunan mereka generasi yang mau
beribadah kepada Allâh semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu
apapun”. [HR. Muslim no. 4629]
Jalan dakwah merupakan jalan yang terjal yang dipenuhi
onak dan duri, apalagi mengajak manusia meninggalkan keyakinan-keyakinan keliru
yang telah mendarah-daging puluhan tahun dalam diri mereka. Pasti akan muncul
tantangan, berupa cemoohan, makian, atau bahkan mungkin juga berbentuk serangan
fisik, dari pihak yang antipati terhadap dakwah. Ketika seorang da’i menghadapi
semua halangan tadi dengan ketegaran dan kesabaran, tidak lupa diiringi dengan
kelapangan dada, bahkan justru membalas keburukan dengan kebaikan; insya Allâh
dengan berjalannya waktu, hati para ‘lawan’ dakwah akan luluh, atau minimal
akan menyegani dakwah yang penuh berkah ini dan tidak mudah untuk melontarkan
tuduhan-tuduhan miring. [13]
Biografi para ulama Islam penuh dengan contoh praktek
sifat mulia ini. Penulis bawakan dua contoh dari kehidupan seorang ulama yang
sangat masyhur keteguhannya dalam mempertahankan prinsip dan ketegasannya dalam
meluruskan penyimpangan sekte-sekte sesat. Beliau adalah Syaikhul Islam Ibn
Taimiyyah rahimahullah.
Contoh pertama: Suatu hari segerombolan ahlul bid’ah
menghadang Ibnu Taimiyah rahimahullah lalu mereka memukuli beliau ramai-ramai
dan pergi. Tatkala kabar itu sampai ke telinga murid-murid dan para pendukung
beliau, mereka pun bergegas datang kepadanya, meminta izin guna membalas dendam
perbuatan jahat gerombolan ahlul bid’ah itu.
Namun Ibnu Taimiyah rahimahullah melarang mereka, seraya
berkata, “Kalian tidak boleh melakukan hal itu”.
“Perbuatan mereka pun juga tidak boleh didiamkan, kami
sudah tidak tahan lagi!”, tukas mereka.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menimpali, “Hanya ada tiga
kemungkinan; hak untuk balas dendam itu milikku, atau milik kalian, atau milik
Allâh. Seandainya hak untuk balas dendam itu adalah milikku, maka aku telah
memaafkan mereka! Jika hak itu adalah milik kalian, seandainya kalian tidak mau
mendengar nasehatku dan fatwaku maka berbuatlah semau kalian! Andaikan hak itu
adalah milik Allâh, maka Dia k yang akan membalas jika Dia k berkehendak!”.
[14]
Contoh kedua: Kisah makar ahlul bid’ah untuk menggantung
Ibnu Taimiyyah.
Sultan Muhammad Qalawun rahimahullah termasuk penguasa
yang mencintai dan mendukung dakwah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Pada suatu tahun, Sultan Qalawun pergi berhaji ke Baitullah. Selama menjalankan
ibadah haji, pemerintahan diserahkan kepada salah seorang wakilnya, Sultan
al-Muzhaffar Ruknuddin Piprus, yang merupakan murid salah satu tokoh sufi abad
itu, Nashr al-Manbaji, dikenal sangat benci terhadap Ibnu Taimiyah.
Tatkala Piprus mengambil tampuk pemerintahan, ahlul
bid’ah pun segera menyusun makar agar pemerintah mengeluarkan surat perintah
hukum mati Ibnu Taimiyah rahimahullah. Namun sebelum makar mereka berhasil,
Sultan Qalawun terlebih dahulu kembali dari haji.
Mendengar berita adanya makar ahlul bid’ah tersebut,
Sultan Qalawun pun marah besar dan memerintahkan bawahannya untuk menghukum
mati para pelaku makar tersebut. Namun, begitu sampai berita itu ke telinga
Ibnu Taimiyah rahimahullah , ulama ini bergegas mendatangi Sultan Qalawun ,
sambil mengatkan, “Saya telah memaafkan mereka semua”. Akhirnya, Sultan pun
memaafkan mereka.
Setelah peristiwa itu, salah seorang musuh besar Ibnu
Taimiyah rahimahullah , Zainuddîn bin Makhlûf pun berkata, “Tidak pernah kita
mendapatkan orang setakwa Ibnu Taimiyah! Setiap ada kesempatan untuk mencelakakannya,
kami berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Namun, tatkala
dia memiliki kesempatan untuk membalas, malah memaafkan kami!”.[15]
Begitulah orang-orang berjiwa besar menyikapi kejahatan
orang lain, dan lihatlah buahnya! Disegani lawan maupun kawan. Betapa banyak
musuh bebuyutan yang berubah menjadi teman seperjuangan, berkat taufiq dari
Allâh Azza wa Jalla , kemudian dengan ketulusan hati para da’i.
6. Menahan Diri Dari Meminta-Minta Apa Yang Dimiliki
Orang Lain.
Sifat ini lebih dikenal para Ulama dengan istilah ‘iffah
atau ‘afâf. Ini merupakan salah satu karakter para Sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagaimana Allâh Azza wa Jalla beritakan dalam al-Qur’ân,
“يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاء مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم
بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافاً “.
“(Orang lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka
adalah orang-orang kaya; karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta).
Engkau (wahai Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta
dengan cara mendesak kepada orang lain”. [Al-Baqarah: 273].
Tidak heran andaikan mereka memiliki karakter mulia
tersebut; sebab mereka dapat menyaksikan langsung Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri mempraktekkannya dan senantiasa memotivasi mereka
untuk mempraktekkannya juga. Di antara nasehat yang beliau sampaikan: sabdanya,
“مَنْ يَسْتَعِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ
اللَّهُ”.
“Barang siapa menahan diri untuk tidak minta-minta; maka
Allâh akan jadikan ia memiliki sifat ‘iffah. Dan barang siapa menampakkan diri
berkecukupan; niscaya Allâh akan menjadikannya kaya”. [HR. al-Bukhâri no. 1427
dan Muslim no. 2421 dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anuh]
Lantas apa korelasi antara bersifat ‘iffah dengan
keberhasilan dakwah? Sekurang-kurangnya bisa ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang
dimiliki orang lain, juga tidak silau dengan apa yang dimiliki orang lain; akan
dicintai mereka. Sebab secara tabiat, manusia tidak menyukai orang lain yang
meminta-minta apa yang dimilikinya. Hal itu telah Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam isyaratkan dalam nasehatnya untuk seseorang yang bertanya,
“Wahai Rasûlullâh, beritahukan padaku suatu amalan yang jika kukerjakan, aku
akan disayang Allâh dan dicintai manusia!”. Beliau pun menjawab:
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا
فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
Bersifat zuhudlah di dunia, niscaya engkau akan disayang
Allâh. Dan bersikap zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, niscaya
mereka mencintaimu [HR. Ibnu Mâjah no. 4177 dari Sahl bin Sa’d as-Sâ’idi
Radhiyallahu anhu dan sanadnya dinilai hasan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah]
[16]
Jika seorang da’i telah dicintai masyarakat, maka mereka
akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya.
Kedua: Orang yang memiliki sifat ‘afâf, ketika ia
berdakwah, masyarakat akan menilai bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena Allâh
Azza wa Jalla , bukan karena mengharapkan balasan duniawi dari mereka. Saat
mereka merasakan ketulusan niat da’i tersebut; jelas -dengan izin Allâh Azza wa
Jalla – mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ
Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan
mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk [Yâsin/36:21]
KIAT MENUMBUHKAN SIFAT ‘AFAF
Sifat mulia ini memang cukup berat untuk ditumbuhkan
dalam jiwa. Namun, ada kiat khusus yang dapat membantu kita menumbuhkan
karakter mulia ini dalam diri kita. Yaitu, dengan melatih diri bersifat qona’ah
yang berarti menerima dan rela dengan berapapun yang diberikan Allâh Azza wa
Jalla . Sebab, sebenarnya sifat ‘afâf merupakan buah dari sifat qona’ah. [17]
Jika ada yang bertanya bagaimana cara membangun pribadi
yang qona’ah? Jawabannya, dengan melatih diri menyadari seyakin-yakinnya bahwa
rezeki hanyalah di tangan Allâh Azza wa Jalla dan yang kita dapatkan telah
dicatat Allâh Azza wa Jalla , serta tidak mungkin melebihi apa yang telah
ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.
CATATAN PENTING[18]
Ada tiga catatan penting di akhir makalah ini:
Pertama: Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan
berarti kita ‘melarutkan’ diri dalam ritual-ritual bid’ah yang ada di
masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia!
Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti
yasinan[19] , tahlilan[20] , maulidan atau acara-acara bid’ah lainnya. Caranya?
Dengan selalu berusaha berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang
tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat, semisal kerja bakti,
pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar
jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan
salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu
membawakan barang belanjaan seseorang yang baru pulang dari pasar, membantu
mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak
dan lain sebagainya.
Dengan berjalannya waktu, masyarakat akan paham bahwa
ketidakikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid’ah bukan berarti karena kita
sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan
keyakinan yang ‘tidak ada tawar-menawar’ di dalamnya.
Kedua: Sebagian pihak ‘mengolok-olok’ beberapa da’i Ahlus
Sunnah yang tidak jemu-jemunya menekankan pentingnya akhlak mulia, dengan
mengatakan bahwa mereka telah tasyabbuh (menyerupai) salah satu kelompok ahlul
bid’ah yang terkenal berkonsentrasi dalam membenahi akhlak umat, namun
mengabaikan pembenahan akidah.
Jawabannya:
A. Barangkali pihak yang gemar ‘mengolok-olok’ itu lupa
bahwa dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah dakwah yang hanya mengajak
kepada akidah yang benar saja. Namun, juga merupakan dakwah yang mengajak
kepada penerapan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari; karena dakwah Ahlus
Sunnah tidak lain adalah agama Islam yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dimana Islam memadukan antara akidah, ibadah dan akhlak. Imam Bisyr
al-Hâfî rahimahullah berkata, “Sunnah adalah Islam dan Islam adalah
Sunnah”[21].
Syaikh Dr. Ibrâhîm bin ‘Âmir ar-Ruhailî hafizhahullâh
menjelaskan, “Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang
mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan akidah
maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru, adanya prasangka bahwa sunni
atau salafi adalah orang yang merealisasikan akidah Ahlus Sunnah saja, tanpa
memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum
Muslimin”[22] .
B. Seandainya ada sebagian ahlul bid’ah menonjol dalam
pengamalan beberapa sisi syariat Islam, apakah kita akan mengabaikannya hanya
karena mereka lebih terkenal dalam penerapannya?! Bukankah justru sebaliknya
kita harus berusaha membenahi diri dengan menutupi kekurangan yang ada pada
diri kita, sehingga kita benar-benar bisa menerapkan ajaran Ahlus Sunnah secara
komprehensif dan bukan sepotong-sepotong?!
Ketiga: Mungkin pula ada sebagian pihak lain yang ketika
ia merasa jenuh melihat kekurangan sebagian Ahlus Sunnah dalam penerapan akhlak
Islami, dia cenderung ‘menjauhi’ mereka dan memilih ‘bergabung’ dengan
kelompok-kelompok ahlul bid’ah yang terkenal menonjol dalam sisi itu.
Sikap ini juga kurang tepat, karena seharusnya dia
berusaha membenahi diri dengan memperbaiki akhlaknya yang belum baik, lalu
berusaha terus-menerus menasehati saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah guna
memperbaiki akhlak mereka, bukan malah menjauh. Mari kita selesaikan suatu
masalah dengan cara yang tidak menimbulkan masalah lain!
PENUTUP
Sebenarnya masih banyak contoh lain penerapan akhlak
mulia yang akan membuahkan dampak positif bagi keberhasilan dakwah. Seperti
bersifat amanah dalam segala sesuatu, termasuk dalam berbisnis, yang amat
disayangkan mulai luntur, bahkan sampai di kalangan mereka yang sudah ngaji.
Sehingga muncullah istilah “Bisnis afwan akhi!” [23] , yang intinya adalah
berbisnis tanpa mengindahkan etika-etikanya. Dan contoh-contoh lainnya yang
dipandang perlu untuk disinggung. Semoga yang sedikit ini dapat memberikan
manfaat yang banyak dan menjadikan kita selalu berupaya untuk berakhlak mulia
di tengah masyarakat yang jelas-jelas membutuhkan pembinaan Islami untuk
menjadi lebih baik.
Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq… Wa shallallahu
‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar