Hukum Mencium Tangan Atau Kepala
HUKUM MENCIUM TANGAN ATAU KEPALA
Pertanyaan.
Bagaimana hukum mencium kepala orang yang lebih besar
atau tua, seperti kakek, nenek dan yang lainnya sebagai bentuk penghormatan?
Jawaban.
Mencium kepala, tangan atau kening sebagai bentuk
penghormatan atau pemuliaan itu diperbolehkan, sebagaimana disebutkan dalam
sebuah hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan:
وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا
قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا
فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ. وَكَانَتْ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَقَبَّلَتْهُ
وأَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ
الَّذِي قُبِضَ فِيهِ فَرَحَّبَ وَقَبَّلَهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika melihat putri
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu Fathimah) mendatangi Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam , maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut
kedatangannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berjalan
menyambut, menciumnya, menggandeng tangannya lalu mendudukkannya di tempat
Beliau duduk. (Begitu juga sebaliknya-red) Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendatangi Fathimah Radhiyallahu anhuma , maka Fathimah menyambut
kedatanga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia bangkit dan berjalan
kearah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mencium Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Dan Fathimah Radhiyallahu anhuma pernah mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang
menderita sakit menjelang wafat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut kedatangannya dan menciumnya.[1]
Diriwayatkan dari Abu Juhaifah Radhiyallahu anhu, dia
mengatakan:
لَمَّا قَدِمَ جَعْفَرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، مِنْ أَرْضِ
الْحَبَشَةِ قَبَّلَ رَسُوْلَ اللهِ مَا بَيْنَ
عَيْنَيْهِ
Ketika Ja’far Radhiyallahu anhu mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam setibanya dari Habasyah, Ja’far Radhiyallahu anhu mencium wajah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu antara dua mata Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam [2]
Dalam sebuah hadits dari Anas bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah mengambil Ibrahim (putra Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ) lalu menciumnya[3]
Juga disebutkan dalam hadits dari Aisyah Radhiyallahu
anhuma bahwa Abu Bakr Radhiyallahu anhu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam wafat , beliau Radhiyallahu anhu menyingkap kain penutup wajah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mencium wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yaitu antara dua mata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[4]
Kita juga bisa mendapatkan menemukan beberapa atsar dari
para Ulama salaf tentang perlakuan adil terhadap anak-anak dalam masalah
ciuman, sebagaimana juga tentang mencium tangan. Diriwayatkan dari Abdurrahman
bin Razîn, dia mengatakan, “Kami melewati Rabadzah (sebuah perkampungan dekat
Madinah-red) maka dikatakan kepada kami, ‘Salamah bin al-Akwa’ ada di sini.’
Maka kami mendatanginya dan menyalaminya lalu dia mengeluarkan kedua tangannya,
seraya mengatakan, ‘Kami telah membaiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan kedua tanganku ini.’ Dia mengeluarkan telapak tangannya yang besar
seperti telapak tangan unta. Kami berdiri menghampirinya dan menciumnya.”[5]
Perlu diingat, meskipun mencium tangan atau kepala itu
boleh, namun tidak sepantasnya dilakukan terus menerus. Karena dikhawatirkan
itu akan menghilangkan sunnah berjabat tangan yang dijelaskan dengan perkataan
dan perbuatan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga perbuatan para
Sahabat Radhiyallahu anhum . Ketika mereka bertemu, mereka berjabat tangan dan
ketika mereka datang dari bepergian jauh, mereka saling berpelukan.[6] Apalagi,
jika mengingat keutamaan dari berjabat tangan yaitu bisa menjadi sebab
terhapusnya dosa-dosa orang-orang yang berjabat tangan. Orang yang memiliki
antusiasme tinggi tentu tidak ingin kehilangan momentum untuk mewujudkan
kebaikan ini.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ،
وَأَخَذَ بِيَدِهِ، فَصَافَحَهُ، تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا، كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ
الشَّجَرِ
Seorang Mukmin, jika dia bertemu dengan Mukmin yang lain,
lalu dia mengucapkan salam kepadanya dan menjabat tangannya, maka dosa-dosa
akibat kesalahan mereka berdua akan berguguran sebagaimana dedaunan
berguguran[7]
Terkait masalah ini, penulis merasa perlu untuk
mengingatkan para pembaca tentang dua hal:
Pertama:
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang terkait dengan
mencium tangan, dimana dijelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika hendak dicium tangannya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَهْ إِنَّمَا يَفْعَلُ هَذَا الأَعَاجِمُ بـِمُلُوْكِهَا ,إِنـِّي
لَسْتُ بِمَلِكٍ, إِنَّمَا أَنَا رَجُلٌ مِنْكُمْ
Tidak mau. Yang melakukan ini hanya orang-orag ajam
terhadap para raja mereka, sementara saya bukan seorang raja. Saya hanya
seorang lelaki sebagaimana kalian.
Hadits ini palsu, tidak bisa dijadiakn hujjah, apalagi
untuk membantah hadits yang shahih.
Kedua:
Tidak ada rukhsah terkait mencium tangan atau kepala ini
untuk mencium atau mengecup mulut, sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah dan
yang lainnya. Perbuatan ini dimakruhkan karena tidak ada riwayat yang
menjelaskan bahwa perbuatan itu dilakukan oleh para Ulama salaf. Al-Baghawi t
mengatakan, “Barangsiapa yang mau mencium, maka janganlah dia mencium mulut,
namun ciumlah tangan, kepala atau kening.”[8]
Disebutkan dalam kitab al-Adabus Syar’iyyah, 2/572, karya
Ibnu Muflih disebutkan penjelasan tentang sebab makruhnya mencium mulut,
“Dimakruhkan mencium mulut, karena jarang sekali perbuatan dilatar belakangi
keinginan untuk memuliakan.”
Wallahu a’lam
Hukum Mencium Tangan Atau Kepala
HUKUM MENCIUM TANGAN ATAU KEPALA
Pertanyaan.
Bagaimana hukum mencium kepala orang yang lebih besar atau tua, seperti kakek, nenek dan yang lainnya sebagai bentuk penghormatan?
Jawaban.
Mencium kepala, tangan atau kening sebagai bentuk penghormatan atau pemuliaan itu diperbolehkan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan:
وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ. وَكَانَتْ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَقَبَّلَتْهُ وأَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ فَرَحَّبَ وَقَبَّلَهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika melihat putri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu Fathimah) mendatangi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut kedatangannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berjalan menyambut, menciumnya, menggandeng tangannya lalu mendudukkannya di tempat Beliau duduk. (Begitu juga sebaliknya-red) Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Fathimah Radhiyallahu anhuma , maka Fathimah menyambut kedatanga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia bangkit dan berjalan kearah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mencium Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan Fathimah Radhiyallahu anhuma pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menderita sakit menjelang wafat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut kedatangannya dan menciumnya.[1]
Diriwayatkan dari Abu Juhaifah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan:
لَمَّا قَدِمَ جَعْفَرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ قَبَّلَ رَسُوْلَ اللهِ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ
Ketika Ja’far Radhiyallahu anhu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setibanya dari Habasyah, Ja’far Radhiyallahu anhu mencium wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu antara dua mata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam [2]
Dalam sebuah hadits dari Anas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil Ibrahim (putra Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) lalu menciumnya[3]
Juga disebutkan dalam hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Abu Bakr Radhiyallahu anhu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat , beliau Radhiyallahu anhu menyingkap kain penutup wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mencium wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu antara dua mata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[4]
Kita juga bisa mendapatkan menemukan beberapa atsar dari para Ulama salaf tentang perlakuan adil terhadap anak-anak dalam masalah ciuman, sebagaimana juga tentang mencium tangan. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Razîn, dia mengatakan, “Kami melewati Rabadzah (sebuah perkampungan dekat Madinah-red) maka dikatakan kepada kami, ‘Salamah bin al-Akwa’ ada di sini.’ Maka kami mendatanginya dan menyalaminya lalu dia mengeluarkan kedua tangannya, seraya mengatakan, ‘Kami telah membaiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kedua tanganku ini.’ Dia mengeluarkan telapak tangannya yang besar seperti telapak tangan unta. Kami berdiri menghampirinya dan menciumnya.”[5]
Perlu diingat, meskipun mencium tangan atau kepala itu boleh, namun tidak sepantasnya dilakukan terus menerus. Karena dikhawatirkan itu akan menghilangkan sunnah berjabat tangan yang dijelaskan dengan perkataan dan perbuatan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga perbuatan para Sahabat Radhiyallahu anhum . Ketika mereka bertemu, mereka berjabat tangan dan ketika mereka datang dari bepergian jauh, mereka saling berpelukan.[6] Apalagi, jika mengingat keutamaan dari berjabat tangan yaitu bisa menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa orang-orang yang berjabat tangan. Orang yang memiliki antusiasme tinggi tentu tidak ingin kehilangan momentum untuk mewujudkan kebaikan ini.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، وَأَخَذَ بِيَدِهِ، فَصَافَحَهُ، تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا، كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ
Seorang Mukmin, jika dia bertemu dengan Mukmin yang lain, lalu dia mengucapkan salam kepadanya dan menjabat tangannya, maka dosa-dosa akibat kesalahan mereka berdua akan berguguran sebagaimana dedaunan berguguran[7]
Terkait masalah ini, penulis merasa perlu untuk mengingatkan para pembaca tentang dua hal:
Pertama:
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang terkait dengan mencium tangan, dimana dijelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak dicium tangannya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَهْ إِنَّمَا يَفْعَلُ هَذَا الأَعَاجِمُ بـِمُلُوْكِهَا ,إِنـِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ, إِنَّمَا أَنَا رَجُلٌ مِنْكُمْ
Tidak mau. Yang melakukan ini hanya orang-orag ajam terhadap para raja mereka, sementara saya bukan seorang raja. Saya hanya seorang lelaki sebagaimana kalian.
Hadits ini palsu, tidak bisa dijadiakn hujjah, apalagi untuk membantah hadits yang shahih.
Kedua:
Tidak ada rukhsah terkait mencium tangan atau kepala ini untuk mencium atau mengecup mulut, sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah dan yang lainnya. Perbuatan ini dimakruhkan karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa perbuatan itu dilakukan oleh para Ulama salaf. Al-Baghawi t mengatakan, “Barangsiapa yang mau mencium, maka janganlah dia mencium mulut, namun ciumlah tangan, kepala atau kening.”[8]
Disebutkan dalam kitab al-Adabus Syar’iyyah, 2/572, karya Ibnu Muflih disebutkan penjelasan tentang sebab makruhnya mencium mulut, “Dimakruhkan mencium mulut, karena jarang sekali perbuatan dilatar belakangi keinginan untuk memuliakan.”
Wallahu a’lam
Pertanyaan.
Bagaimana hukum mencium kepala orang yang lebih besar atau tua, seperti kakek, nenek dan yang lainnya sebagai bentuk penghormatan?
Jawaban.
Mencium kepala, tangan atau kening sebagai bentuk penghormatan atau pemuliaan itu diperbolehkan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan:
وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ. وَكَانَتْ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَقَبَّلَتْهُ وأَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ فَرَحَّبَ وَقَبَّلَهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika melihat putri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yaitu Fathimah) mendatangi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut kedatangannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berjalan menyambut, menciumnya, menggandeng tangannya lalu mendudukkannya di tempat Beliau duduk. (Begitu juga sebaliknya-red) Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Fathimah Radhiyallahu anhuma , maka Fathimah menyambut kedatanga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia bangkit dan berjalan kearah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mencium Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan Fathimah Radhiyallahu anhuma pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menderita sakit menjelang wafat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut kedatangannya dan menciumnya.[1]
Diriwayatkan dari Abu Juhaifah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan:
لَمَّا قَدِمَ جَعْفَرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ قَبَّلَ رَسُوْلَ اللهِ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ
Ketika Ja’far Radhiyallahu anhu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setibanya dari Habasyah, Ja’far Radhiyallahu anhu mencium wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu antara dua mata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam [2]
Dalam sebuah hadits dari Anas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil Ibrahim (putra Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) lalu menciumnya[3]
Juga disebutkan dalam hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Abu Bakr Radhiyallahu anhu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat , beliau Radhiyallahu anhu menyingkap kain penutup wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mencium wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu antara dua mata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[4]
Kita juga bisa mendapatkan menemukan beberapa atsar dari para Ulama salaf tentang perlakuan adil terhadap anak-anak dalam masalah ciuman, sebagaimana juga tentang mencium tangan. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Razîn, dia mengatakan, “Kami melewati Rabadzah (sebuah perkampungan dekat Madinah-red) maka dikatakan kepada kami, ‘Salamah bin al-Akwa’ ada di sini.’ Maka kami mendatanginya dan menyalaminya lalu dia mengeluarkan kedua tangannya, seraya mengatakan, ‘Kami telah membaiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kedua tanganku ini.’ Dia mengeluarkan telapak tangannya yang besar seperti telapak tangan unta. Kami berdiri menghampirinya dan menciumnya.”[5]
Perlu diingat, meskipun mencium tangan atau kepala itu boleh, namun tidak sepantasnya dilakukan terus menerus. Karena dikhawatirkan itu akan menghilangkan sunnah berjabat tangan yang dijelaskan dengan perkataan dan perbuatan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga perbuatan para Sahabat Radhiyallahu anhum . Ketika mereka bertemu, mereka berjabat tangan dan ketika mereka datang dari bepergian jauh, mereka saling berpelukan.[6] Apalagi, jika mengingat keutamaan dari berjabat tangan yaitu bisa menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa orang-orang yang berjabat tangan. Orang yang memiliki antusiasme tinggi tentu tidak ingin kehilangan momentum untuk mewujudkan kebaikan ini.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، وَأَخَذَ بِيَدِهِ، فَصَافَحَهُ، تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا، كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ
Seorang Mukmin, jika dia bertemu dengan Mukmin yang lain, lalu dia mengucapkan salam kepadanya dan menjabat tangannya, maka dosa-dosa akibat kesalahan mereka berdua akan berguguran sebagaimana dedaunan berguguran[7]
Terkait masalah ini, penulis merasa perlu untuk mengingatkan para pembaca tentang dua hal:
Pertama:
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang terkait dengan mencium tangan, dimana dijelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak dicium tangannya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَهْ إِنَّمَا يَفْعَلُ هَذَا الأَعَاجِمُ بـِمُلُوْكِهَا ,إِنـِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ, إِنَّمَا أَنَا رَجُلٌ مِنْكُمْ
Tidak mau. Yang melakukan ini hanya orang-orag ajam terhadap para raja mereka, sementara saya bukan seorang raja. Saya hanya seorang lelaki sebagaimana kalian.
Hadits ini palsu, tidak bisa dijadiakn hujjah, apalagi untuk membantah hadits yang shahih.
Kedua:
Tidak ada rukhsah terkait mencium tangan atau kepala ini untuk mencium atau mengecup mulut, sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah dan yang lainnya. Perbuatan ini dimakruhkan karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa perbuatan itu dilakukan oleh para Ulama salaf. Al-Baghawi t mengatakan, “Barangsiapa yang mau mencium, maka janganlah dia mencium mulut, namun ciumlah tangan, kepala atau kening.”[8]
Disebutkan dalam kitab al-Adabus Syar’iyyah, 2/572, karya Ibnu Muflih disebutkan penjelasan tentang sebab makruhnya mencium mulut, “Dimakruhkan mencium mulut, karena jarang sekali perbuatan dilatar belakangi keinginan untuk memuliakan.”
Wallahu a’lam
Read more https://almanhaj.or.id/6273-hukum-mencium-tangan-atau-kepala.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar